Unggul dalam Mutu Berdaya Kompetitif

Unggul dalam Mutu Berdaya Kompetitif
LOGO KSC

Sabtu, 26 Februari 2011

Pendidikan Islam berbasis Pluralisme dan Demokrasi

Dalam era globalisasi, tidak bisa dipungkiri bahwa kesadaran akan identitas pribadi maupun persekutuan semakin menonjol. Pernyataan ini agaknya memiliki implikasi yang kuat, terutama kalau kita mencermati hubungan dan peran agama-agama dewasa ini yang semakin bergairah membagun kembali institusinya dalam memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan tersebut. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan identitas individu atau kelompok di tengah kemajemukan masyarakat, setiap agama memiliki ekspresi simbolik yang berbeda-beda, sehingga juga akan melahirkan komunitas keagamaan yang berbeba pula.
Keragaman dalam memahami dan mengaktualisasikan identitas itulah yang akan melahirkan dan membentuk pluralisme.
Kesadaran akan pluralisme ini merupakan salah satu “paradoks” yang menonjol dalam proses globalisasi ; sebab ketika dunia semakin menyatu, semakin majemuk pula benuk-bentuk ekspresinya. Dengan kata lain, kemajemukan menuntut untuk diakui dan diberi tempat dalam kehidupan bermasyarakat. Dikatakan demikian, karena bagaimanapun pluralisme atau kemajemukan merupakan kenyataan sosiologis yang tidak dapat dihindari. Islam merupakan bagian dari sunnatullah, sebagai kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan.
Sikap Islam terhadap pluralisme sangat jelas, bahwa Islam tidak menolak adanya pluralisme, bahkan Islam memberikan kerangka yang bersifat etis dan positif. Islam dimaksud tercermin dalam beberapa ayat al-Qur’an yang secara eksplisit mengakui kenyataan tersebut.
Sejalan dengan pluralisme atau kemejemukan di atas, salah satu pemikiran keagamaan yang akhir-akhir ini memunculkan antusiasme adalah relativisme, termasuk di dalamnya yang sedang menjadi mode, yaitu post modernisme. Fenomena ini sering dianggap sebagai moment sejarah untuk memberikan pemaknaan kembali secara epistemologis terhadap kebenaran-kebenaran yang dihasilkan pada masa lampau untuk kemudian dikembangkan sikap dialogis dan kritis terhadap kebenaran-kebenaran itu. Karena bagiamanapun, kebenaran-kebenaran pemikiran keagamaan yang dihasilkan oleh kaum terdahulu itu selalu terkait dengan tiga hal, yaitu kepentingan ideologis, interpretasi filosofis ilmiah dan moralitas dari suatu tradisi yang turun temurun.
Fenomena pluralisme dan relativisme ini mencoba untuk menempatakan setiap pemikiran yang ada pada posisi relative (nisbi). Karena realitas manusia yang ada padanya berlaku hukum-hukum eksistensial sebagai makhluq adalah terbatas. Sebagai makhluq yang bersifat nisbi itulah, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai dokrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Karena itu, dapat dikatakan bahwa sebenar-benarnya pemikiran seseorang pada akhirnya ia akan berhenti di ruang zhanny (relative, nisbi dan terbatas). Begitu juga dalam pemikiran seseorang tentang pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang pada saat ini memerlukan suatu pemikiran “cerdas” agar mampu bertahan di tengah era globalisasi.
Persoalan pendidikan Islam atau pendidikan agama Islam merupakan persoalan yang masih memerlukan klarifikasi teoritis, karena pendidikan Islam banyak berkaitan dengan konsep dasar yang dipergunakan. Demikian juga dengan gagasan demokratisasi pendidikan.
Demokratisasi sebagai pemandu penyelenggaraan pendidikan dapat diartikan pula sebagai pembebasan pendidikan dan manusia yang terlibat di dalamnya dari struktur dan system serta perudangan yang menempatkan manusia sebagai komponen. Bahkan, demokratisasi juga dapat berarti pembebasan manusia dari ketergantungan atas realitas obyektif yang sering menghambat manusia dalam mengembangkan diri untuk mencapai kwalitas hidup di luar parameter material.
Sementara konsepsi ajaran pendidikan Islam bermuara dan selalu bertumpu pada pembentukan manusia sesuai dengan kodratnya yang mencakup dimensi imanensi dan dimensi trandensi. Tauhid sebagai salah satu kunci pokok keislaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan atau penyembahan kecuali kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian
Prinsip paling menadasar dari demokrasi pendidikan Islam adalah ajaran tauhid, sebuah ajaran tentang adanya kebebasan bagi tiap manusia atau tiadanya pengikatan olehnya pada sebuah kebenaran di luar dirinya selain Tuhan, baik dalam berfikir maupun berbuat.
Konsep ajaran tauhid dalam ajaran Islam tersebut merupakan paradigma sebuah pembebasan dan kebebasan manusia baik secara lahiriah maupun rohaniyah, kecuali kepada Tuhan. Ini mengisyaratkan sebuah ajaran bahwa praktek dalam pendidikan Islam tidak mengenal diskriminasi atas kelompok manusia tertentu. Di sana tidak boleh terjadi pengkultusan kebenaran antara suprioritas dengan inferioritas. Karena itu, demokratisasi pendidikanpun harus diselaraskan dengan kemampuan professional manusia peserta didik.
Berdasarkan tauhid sebagai paradigma dalam pendidikan Islam, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa factor yang mendukung dan factor yang menghambat akan terciptanya pendidikan Islam dalam aktualisasinya.
Adapun factor yang mendukung terjadinya demokratisasi dalam pendidikan Islam tersebut adalah: pertama, adanya format politik, kedua, adanya persamaan dan kebebasan, ketiga kedewasaan intelektual dan emosional dalam menyikapi berbagai kemajemukan pemikiran.
Di samping factor pendukung tersebut di atas, terdapat pula factor penghambat bagi laju perjalanan demokrasi dalam pendidikan Islam. Adapun factor-faktor penghambat tersebut adalah : pertama, penyebab structural, kedua penyebab kultural, ketiga penyebab natural atau alamiyah dan yang keempat adalah penyebab legal.
Berbicara mengenai tujaun akhir dari pendidikan Islam, tidak bisa dilepaskan dari tujuan luhur diciptakannya manusia itu sendiri. Pendidikan itu sendiri hanyalah sebagai alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya agar tetap survival, baik sebagai individu atupun sebagai masyarakat. Dengan demikian, tujuan hidup manusia di pentas bumi ini merupakan pangkal dari tujuan pendidikan Islam.
Ada dua hal pokok yang berkenaan dengan tujuan hidup manusia sebagai pangkal dari tujuan pendidikan Islam. Kedua tujuan pokok yang dimaksud adalah manusia didik untuk menjadi ‘abdullah dan manusia didik menjadi kholifatullah.
Dari sini dapat dikatakan, bahwa manusia didik agar ia menjadi dewasa sebagai hamba Allah dan khalifatullah di muka bumi, baik jasmani maupun rohani. Kendati kedewasaan rohaniah manusia sulit ditentukan karena sifatnya lebih abstrak daripada kedewasaan jasmaniayah. Dan kedewasaan rohani manusia bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan sesuatu proses. Karenanya, hal itu bergantung kepada orang yang melihat dan menilainya.
Itulah tujuan pendidikan Islam ideal (Islamietish Paedagogisch Ideal) yang harus memberikan suara kepada tiap pendidikan muslim dalam mengemudikan perahu pendidikannya.  
Penghambaan diri hanya kepada-Nya merupakan bentuk pengakuan yang tulus bahwa kita tidak dibenarkan mengarahkan dan menggantungkan hidup ini kepada sesuatu apapun selain Tuhan, serta merupakan pentik pelepasan pretensi-pretensi absolutisme dan eksploitisme manusia terhadap manusia yang lainnya. Disinilah demokrasi pendidikan memberikan arti penting bagi pencapain tujuan pendidikan Islam, sebagaimana dimaksud di atas. Dimana demokrasi pendidikan yang membersitkan nilai kebebasan, syura, kesamaan dan persamaan dalam pendidikan serta sikap-sikap ilmiah lainnya., tentunya akan menjadi landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan Islam tersebut.
Oleh karena itu, tugas pendidikan bukan hanya sekedar alih informasi pengetahuan (transfer of knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, pendidikan harus professional dalam membentuk kepribadian peserta didik. Maka, bagi seorang guru yang nota-benenya sebagai pemandu proses jalannya pendidikan dan pembelajaran harus mampu secara psikis memahami bidang studi yang dipegangnya dan mengerti, memahaminya sampai menyikapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar