Oleh Miftahuddin
Mahasiwa IAIN Walisongo Semarang
Tuhan menciptakan bumi dan langit salah satunya sebagai i’tibar bagi sifat-sifat manusia. Lemah, mengeluh, putus asa dan lain sebagai ibarat sifat yang melekatinya. Apakah mungkin bisa belajar dari bumi dan langit? Kalau bias, why not!!
“Tuhan,” katanya.
“Apakah Tuhan bisa memberi saya satu alasan yang baik untuk jangan berhenti hidup dan menyerah ?”
Jawaban Tuhan sangat mengejutkan.
“Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu ?”
“Ya,” jawab pria itu.
“Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik. Aku memberi keduanya cahaya. Memberikan air. Pakis tumbuh cepat di bumi. Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan. Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun. Tapi Aku tidak menyerah.“Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu. Tapi Aku tidak menyerah. “Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu. Tapi Aku tidak menyerah. Di tahun keempat, masih juga belum ada apapun dari benih bambu. Aku tidak menyerah,” kataNya.
“Di tahun kelima, muncul sebuah tunas kecil. Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna. Tapi 6 bulan kemudian, bambu itu menjulang sampai 100 kaki. Untuk menumbuhkan akar itu perlu waktu 5 tahun. Akar ini membuat bambu kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup. Aku tak akan memberi cobaan yang tak sangup diatasi ciptaan-Ku, “kata Tuhan kepada pria itu.
“Tahukah kamu, anak-Ku, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini, kamu sebenarnya menumbuhkan akar-akar?” “Aku tidak meninggalkan bambu itu. Aku juga tak akan meninggalkanmu.” “Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain,” kata Tuhan.
“Bambu mempunyai tujuan yang beda dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah.” “Waktumu akan datang. Kamu akan menanjak dan menjulang tinggi.” Kata Tuhan lagi.
“Saya akan menjulang setinggi apa ?” tanya pria itu.
“Setinggi apa pohon bambu bisa menjulang?” tanya Tuhan
“Setinggi yang bisa dicapainya,” jawab pria itu.
“Ya, benar! Agungkan dan muliakan nama-Ku dengan menjadi yang terbaik, meraih yang tertinggi sesuai kemampuanmu, ” kata Tuhan.
Pria itu lalu meninggalkan hutan dan mengisahkan pengalaman hidup yang berharga ini. Akhirnya ia bisa menyirami pria-pria yang lainnya supaya jangan pernah mengalami keadaan yang tidak mengenakkan itu. Bukan hanya membuat hidup semakin sempit, akan tetapi lebih menanam penyakit yang sukar dicari obatnya.
Ibarat bumi, jika setiap hari terus dieksploitasi terus menerus oleh karakusan manusia, di rusak dan dibakar, namun sedikitpun bumi tidak pernah bermaksud untuk membalas semua perbuatan itu. Jangan disalahkan ketika suatu saat ia mengeluarkan banjir bandangnya atau siulan gempa bumi yang berpotensi menghancurkan seluruh muka bumi ini. Bagaimana tidak, jika ada akibat pastilah ada yang menyebabkannya. Semua kekacauan yang ada di bumi ini tidak lain adalah akibat dari ulah manusia sendiri yang rakus akan kekayaan alam yang tidak pernah berhenti ia mengurasnya.
Cerita di atas hanyalah sempalan realitas yang ada di sekeliling kita, keputus-asaan akan cita-cita atau hal terkecil atau mungkin terbesar apapun yang belum bias tercapai membuat rasa keputus-asaan melanda. Begitu juga langit yang tak henti-hentinya mengayomi seluruh isi bumi ini.
Bumi dan langit merupakan sebuah i’tibar bagi kita yang hampa akan petunjuk sang kuasa. Dalam keadaan apapun dan dalam kondisi bagaimanapun, kesenjangan antara keinginan dan realitas rentan terjadi. Jika tidak diimbangi dengan keimanan yang kuat, logika yang objektif, maka benih-benih keputus-asaanpun mulai mengancam. Oleh karena itu, belum terlambat jika mulai saat ini kita berlatih untuk mengedepankan positive thinkhing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar