Oleh Miftahuddin
Anak atau dalam makalah ini diibaratkan umat, merupakan rahmat dan nikmat yang besar dari Allah SWT dan pada waktu yang sama juga amanah yang harus diemban orang tua. Orang tua mengemban tanggung jawab yang utama dalam mendidik dan membekalkan anak-anaknya menjadi manusia yang matang dan mantap baik secara emosi, mental dan spiritual.
Islam menekankan bagi orang tua untuk menjaga, memelihara dan mengarahkan setiap ahli keluarga kepada jalan yang lurus, jalan yang dikehendaki oleh Allah swt dan sebagaimana di contohi oleh suri teladan kita Rasulullah saw (dua hadits yang akan di bahas dalam makalah ini meruju' pada suri tauladan beliau). sebagaimana yang kita harapkan, generasi yang unggul akan lahir dari jiwa para pendidik unggul. Oleh karena itu adalah suatu kemuliaan bagi kita untuk bersama menjadi pendidik yang baik.
Dan menjadi pendidik merupakan manifestasi nyata terhadap ajakan ayat yang akan di bahas dalam pembahasan yaitu pendidik laksana ayah terhadap anak dan penugasan yang sesuai dengan kemampuan.
Namun demikian, mendidik anak adalah hal yang tidak mudah, jalannya adalah laksana menanam sebuah benih, dan agar benih dapat tumbuh dengan baik dan kokoh serta menghasilkan buah yang ranum perlu kepada tanah yang baik yang diberi pupuk serta air yang cukup. Oleh karena itu merupakan hal yang penting bagi orang tua mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan anak untuk menjadikannya anak yang berakhlak mulia, atau dengan kata lain bahwa watak seorang anak bergantung kepada nilai-nilai yang ditanamkan.
II. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hadits tentang pendidik laksana Ayah terhadap anak?
2. Bagaimana hadits tentang penugasan yang disesuaikan dengan kemampuan?
III. PEMBAHASAN
A. Pendidik laksana ayah terhadap anak
1) Matan hadits
Artinya : “diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda sesungguhnya saya bagi kamu sekalian laksana ayah terhadap anaknya, saya mengajarkan kepada kamu sekalian ketika mendatangi jamban (melakukan buang air kencing), maka janganlah kamu sekalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Nabi memerintahkan untuk membersihkan (istinja’[1]) dengan menggunakan 3 (batu) dan Nabi mencegah untuk tidak melakukannya dengan kotoran kering dan tulang. Dan nabi juga mencegah seorang laki-laki membersihkan dengan tangan kanannya”. (Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud di dalam kitab Thoharoh)
2) Penjelasan
Hadits yang menjadi kajian di atas merupakan hadits yang dikeluarkan atau dihimpun oleh Iman Abu Dawud melalui sanadn ya Abu Hurairah. Di mana dalam kaidah keilmuwan hadits dinyatakan bahwa sebagian riwayat yang dihimpun oleh Abu Hurairah adalah mendekati kebenaran. Di samping Abu Hurairah dikenal sebagai Al-Mukhorrij yang ulung dan piawai dalam menyampaikan haditsnya, ia juga dikenal sebagai penghimpun hadits yang kuat sanadnya.[2] Artinya, hadits di atas telah mapan untuk dijadikan sebagai sumber hukum tentang masalah terkait.
Selain hadits di atas, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dengan makna yang sama pula, namun redaksi yang berbeda dikeluarkan Abu Ayyub Al-Anshary dengan bunyi redaksi hadits sebagai berikut :
“Nabi SAW bersabda : apabila kamu datang ke tempat membuang air , maka janganlah kamu menghadap qiblat dan janganlah kamu membelakanginya, akan tetapi hadaplah ke Timur atau ke Barat. Abu Ayyub berkata : kemudian kami datang ke Syam lalu kami mendapati jamban-jamban di sana didirikan menghadap ke arah qiblat. Karena itu, kami memutar badan dan memohon ampun kepada Allah”.[3]
Dalam redaksi riwayat Abu Ayyub terlihat perbedaan dalam kata “akan tetapi hadaplah ke timur atau ke Barat”. Tentunya kata-kata tersebut lebih memberikan informasi kepada kita bagaimana seharusnya untuk melakukan istinja’. Perbedaan redaksi tersebut bukan berarti beda pemaknaannya, melainkan sebagai penyempurna hadits yang lain, dalam hal ini riwayat Abu Hurairah.
Pembahasan mengenai makna hadits yang diusung di atas, bukan hanya diriwayatkan oleh kedua mutakhorrij tersebut,melainkan terdapat satu hadits lagi yang dihimpun oleh Syeikh Ibrahim Al-Baijury yang hampir mirip dengan hadits yang pertama dengan penambahan kata Walyastanji Bitsalatsati Ahjarin.[4] Artinya, semua hadits tersebut pada intinya menerangkan mengenai Istinja’.[5]
Nabi Saw mengatakan kepada para sahabat, bahwa mereka pergi ke tempat membuang air atau ke tempat menyelesaikan hajat, di sesuatu tempat yang lapang, maka janganlah mereka duduk dengan menghadap qiblat, atau membelakanginya. Hal ini dengan tujuan untuk menghormati dan membesarkan qiblat. Penduduk kota Madinah, hendaknya menghadap ke arah Timur atau ke arah Barat. Di samakan dengan penduduk Madinah ini, orang-orang yang seperti mereka, yaitu orang-orang yang apabila menghadap ke Timur atau ke barat, tidak menghadap qiblat dan tidak membelakanginya.[6] Bagaimana dengan keadaan di negara Indonesia? Ini perlu di bahas dalam diskusi.
3) Analisis interpretatif
Bahan kajian analisis di sini adalah bagaimana kronologi kejadian diharamkannya menghadap qiblat yang hanya sekedar untuk tujuan penghormatan saja ataukah terdapat unsur-unsur lain di dalamnya. Oleh karena itu, analisis ini dimulai dengan peristiwa datangnya Abu Ayyub ke Syam yang mendapat jamban-jamban di sana sama menghadap kearah qiblat. Bergegas ia memohonkan Ampun kepada para pembuat jamban-jamban tersebut.
Dalam keterangan yang lain, yakni menurut Ibn umar, sebenarnya pengharaman menghadap qiblat itu bukan hanya pada waktu di dalam jamban saja, bahkan di luar pun juga tidak diperbolehkan.[7] Pendapat ini ditentang diantaranya Abu Hurairah, Ma’qil Al-Asady, dan oleh Abu Ayyub sendiri. Sedangkan pendapat yang lain mendukungnya.
Jika menurut versi Ibn Umar ini, bahwasanya beliau pernah pada suatu hari naik ke atap rumah yang dekat dengan rumah Nabi SAW. Maka nampaklah dari atas rumah itu, Rasulullah sedang duduk dengan menghadap ke Baitul Maqdis untuk melepaskan hajat, atau diwaktu melepaskan hajatnya.[8]
Dengan demikian, dalam masalah menghadap atau membelakangi kiblat ketika membuang air, ada beberapa pendapat, diantaranya:
Pertama, madzhab Maliki dan Syafi’i, berpendapat haaram menghadap kiblat dikala membuang air besar maupun air kecil, jika ita membuang air itu di tanah lapang dan tidak haram jika dilakukan didalam rumah (didalam kamar tertutup)
Pendapat ini diiriwayatkan dari Abbas Ibnu Abdil Muthalib, Abdullah Ibnu Umar, Asy Sya’by, Ishak Ibnu Rahawaih dan Ahmad Ibnu Hanbal dalam suatu riwayat.
Kedua, tidak boleh kita membuang air menghadap kiblat atau membelakanginya, baik didalam rumah maupun di tanah lapang.
Inilah pendapat Abu Ayyub Al Anshary, Mujahid, Ibrahim An Nakha, Sufyan Ats Tsaury, Abu Tsaur dan Ahmad dalam suatu riwayat lain
Ketiga, boleh kita membuang air dengan menghadap kiblat atu membelakanginya, baik di dalam rumah maupun di tanah lapang, demikianlah madzhab Urwah Ibnu Zubair, Rabi’ah dan Daud Ibnu Ali.
Keempat, tidak boleh kita membuang air dengan menghadap ke kiblat baik di tanah lapang atau di dalam rumah, tetapi boleh membelakanginya, demikianlah salah satu riwayat yang diterima dari Abu Hanifah dan Ahmad.
Golongan yang melarang secara umum, berpegang kepada hadits Abu Ayyub dan yang sepertinya mereka berkata : “larangan itu, adalah untuk menghormati kiblat. Hal yang tersebut, terdapat di dalam rumah dan tanah lapang. Sekiranya didinding cukup untuk menghilangkan larangan, tentulah kita boleh membuang air di tanah lapang juga dengan menghadap atau membelakangi kiblat, lantaran antara kita dengan ka’bah terdapat bukit-bukit, gunung-gunung dan lain-lain yang menjadi penghalang.
Golongan yang memperbolehkan secara umum, berhujjah dnegan hadits Ibn Umar yang melihat Nabi menghadap baitul Maqdis membelakangi kiblat dalam keadaan membuang air.
Golongan yang memperbolehkan kita membelakangi kiblat, tidak boleh kita menghadapnya, berhujjah dengan hadits Salman. Dalam hadits tersebut menerangkan bahwa Nabi melarang kita menghadap kiblat dalam kita membuang air. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim.
Sementara glongan yang mengharamkan kita menghadap dan membelakangi kiblat di tanah lapang dan memperbolehkan kita menghadap ke kiblat atau embelakanginya di dalam rumah berhujjah pada hadits Aisyah.[9]
B. Penugasan disesuaikan dengan kemampuan
1) Matan Hadits
Artinya : “diriwayatkan dari Ibn Mas’ud berkata tidaklah kamu berbicara pada suatu kaum dengan pembicaraan yang akal-akal mereka belum mencapainya, kecuali adanya pembicaraan itu dengan keadaan ini bagi sebagian mereka merupakan fitnah”. (Hadits ini ditakhrij oleh Imam Muslim dalam kitab Muqoddimah)
2) Penjelasan
Dalam hadits di atas, perlu menggunakan pemahaman logis yang di butuhkan untuk menguraikan maknanya. Secara umum, dalam konteks ini adalah penempatan seorang pbeendidik dalam menghadapi peserta didinya, atau seorang ayah yang mendidik anaknya. Dalam aturan tersebut, para pendidik dianjurkan untuk tidak melampaui cara berpikirnya. Berbicara denga anak kecil, harus menggunakan norma dan etika layaknya anak kecil. Begitupun dengan orang dewasa.
Untuk lebih bisa memahami makna hadits di atas, di bawah ini ada sebuah hadits yang menurut kami bisa membantu pemahaman tersebut, yaitu :
Dari Abu Huroiroh Abdur Rohman bin Shokhrin Rodhiyallahu anhu ia berkata: ” Saya telah mendengar Rosulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda: ” Apa apa yang saya larang darimu maka jauhilah, dan apa apa yang saya perintahkan, maka lakukanlah semampumu, sesungguhnya yang membinasakan manusia sebelum kamu adalah banyak pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabinya ” [HR Bukhori dan Muslim][10]
Begitu banyak kenyataan pahit disekitar kita yang harus kita hadapi. Satu di antaranya adalah apa yang kita saksikan pada kebanyakan generasi Islam sekarang ini mereka amat jauh dari agamanya. Begitu lazimnya kita dapati anak-anak Islam dengan lancar menyenandungkan lagu-lagu bahkan nyanyian orang dewasa. Dalam hal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh karena jauh sebelumnya Rasulullah SAW telah mengabarkannya. Beliau pernah bersabda :“Akan ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina sutera khamar dan alat musik.”[11]
Apa yang para pendidik berikan maka itulah yang akan mereka terima. Maka berikanlah perkara- perkara yang baik kepada mereka ajarkan dan biasakanlah pada mereka sejak dini Kalamullah agar mereka terbiasa melantunkannya dan timbul kecintaan pada hati-hati mereka dgn memahamkan makna-maknanya. Al Imam Al Hafidh As Suyuthi berkata : “Mengajarkan Al Qur’an pada anak-anak merupakan salah satu dari pokok-pokok Islam agar mereka tumbuh di atas fitrahnya dan agar cahaya hikmah lebih dahulu menancap pada hati-hati mereka sebelum hawa nafsu dan sebelum hati-hati mereka dihitami oleh kekotoran maksiat dan kesesatan”.
Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: “Wahai ayahku bagaimana pendapat ayah tentang firman Allah :“Yakni orang-orang yang lalai dalam shalat mereka.” Mush’ab melanjutkan : “Siapa di antara kita yang tidak lalai dan tidak terlintas dalam benaknya perkara lain selain shalat sedikitpun?”Maka sang ayah -Sa’ad bin Abi Waqqash- menjawab : “Bukan begitu wahai anakku. Yang dimaksud lalai dalam firman Allah tersebut adalah menyia-nyiakan waktunya.”
Demikian juga kisah Abu Sulaiman Dawud bin Nashr Ath Tha’i. Ketika ia berumur lima tahun ayahnya menyerahkannya pada seorang pengajar adab. Maka pengajar tersebut memulai dengan mengajarkan Al Qur’an. Ketika sampai pada surat Al Insan dan dia telah menghafalnya suatu hari ibunya melihatnya sedang menghadap dinding memikirkan sesuatu sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Maka ibunya berkata : “Bangkitlah wahai Dawud bermainlah bersama anak- anak yang lain!” Dawud tidak menyahut perintah ibunya hingga ketika sang ibu mendekapnya Dawud baru bereaksi ia berkata : “Ada apa denganmu wahai ibuku?”Kata ibunya : “Di manakah pikiranmu wahai anakku?”“Bersama hamba-hamba Allah” jawab Dawud.“Di mana mereka?” Tanya sang ibu.“Di Surga” jawab Dawud singkat.Ibunya bertanya lagi : “Apa yang sedang mereka perbuat?”Mendengar pertanyaan itu Dawud membacakan surat Al Insan ayat 13 sampai 21 yang mengabarkan kenikmatan Surga :“Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan mereka tidak merasakan di dalamnya mentari dan tidak pula dingin yang menyengat. Dan naungan dekat di atas mereka dan buah-buahannya dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan pada mereka bejana-bejana dari perak dan gelas-gelas yang bening laksana kaca kaca-kaca dari perak yang telah diukur mereka dgn sebaik-baiknya. Di dalam Surga itu mereka diberi minum segelas yang campurannya adalah zanjabil.[12]
3) Analisis interpretatif
Ayah adalah suami dari istri dan bapak dari anak-anak. Dia adalah matahari keluarga, sumber dari kehidupan sebuah keluarga. Ayah yang mendambakan anak-istrinya selalu setia menemaninya di dalam kebenaran dan sabar serta penuh kesabaran menasehati dirinya tatkala tergelincir di dalam kekeliruan. Ayah yang senantiasa mendahulukan pemenuhan kewajiban sebelum menuntut haknya ditaati anak-istri. Ayah yang meyakini bahwa dirinya adalah qawwam, pihak pertama dan utama yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah SWT akan taqwa tidaknya keluarga di bawah kepemimpinannya.
Sedang anak adalah bintang keluarga, bintang-bintang zaman, mereka adalah laki-laki dan perempuan kehidupan (ibnuz zaman). Anak adalah investasi bagi orangtuanya sepanjang masa, serius dalam pendidikannya agar menjadi anak shaleh dan ‘saham’ orangtua di masa mendatang. Tenaga yang sepatutnya dicurahkan untuk mendidik dan mempersiapkan masa depan anak bukanlah tenaga sia-sia dan bukan pula tenaga sisa-sisa. Jangan sampai kepedulian orangtua terhadap pendidikan dan persiapan masa depan hanya dengan menggunakan waktu dan tenaga sisa yang dimiliki.[13]
IV. KESIMPULAN
Hadits mengenai pendidik laksana ayah terhadap anak, seperti yang dicontohkan dalam hadits diatas memberikan isyarat bahwa betapa pentingnya nilai kasih sayang dalam pendidikan. Sebgaimana yang Nabi SAW mengajrkan kepada umatnya untuk menanamkan cinta kasih terhadap sesama. Bahkan karena sangat sayangnya Nabi pada umat, beliau merasa untuk tidak memberatkan umatnya dalam memberlakukan syariat islam yang berat. Sebagaimana pada hadits pertama di contohkan mengenai istinja’. Secara tegas beliau sendiri tidak pernah melarang tersebut, kalaupun mau Nabi bisa mempertegas kapanpun. Namun,beliau tidak melakukan dan pada akhirnya umatnya sendiri yang melakukan interpretasi dan sama mempunyai hujjah masing-masing.
Begitu juga mengenai masalah penugasan tehadap umat, yang dalam hal ini bisa dikatakan umat yang dididik oleh nabinya dalam memberikan etika menjalin komunikasi kepada siapapun, baik anak kecil maupun dewasa untuk berbcara menurut kadar akalnya masing-masing.
V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, meskipun masih dihinggapi berbagai kekuarangan, baik dari metodologi penyusunannya maupun materinya. Begitu jug kami sangat menyadari bahwa di dalam makalah kami ini juga masih banyak terdapat kesalahan baik dalam mengenai redaksi, sistematika ataupun dalam mengumpulkan refrensi. Oleh karena itu, kami sepantasnya mengharap kritik dan saran yang konstruktif guna perbaikan makalah kami selanjutnya. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi pemakalah khususnya, dan rekan-rekan pada umumnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
M. Syuhudi Isma’il, Prof. DR. H, Kaidah Kesahehan Sanad Hadits : Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1995)
Syeikh Ibrahim Al-Baijury , Sarhil ‘Allamah Ibn Qosim Al-Ghuzy, (Surabaya : Maktabah Asy-Syeikh Muhammmad Ibn Ahmad Nabhan wa Auladih, tth)
Shahih Muslim Juz I, (Semarang : Toha Putra, tth)
Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 2 : Thaharah Dan Shalat, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 2003)
http://alfasholeh.wordpress.com/1-hadits-ke-9-taklif-penugasan-sesuai-dengan-kemampuan/ di akses tanggal 22 November 2010
http://rausanulqalbu.blogspot.com/2010/04/wasiat-wasiat-lukmanul-hakim-kepada.html di akses tanggal 22 November 2010
http://www.kuakuta.org/berita/rumahku_surgaku.html di akses tanggal 22 November 2010
[1] Menurut syara’ yang dimaksud denga Istinja’ adalah menghilangkan kotoran najis dari farji dengan menggunakan air maupun batu dengan ketentuan syarat-syarat yang berlaku, diantaranya batu yang suci tidak terkena najis.
[2] M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Kesahehan Sanad Hadits : Telaah Kritis Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1995), hlm. 119.
[3] Teungku Muhammad Hasbie Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits 2 : Thaharah Dan Shalat, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putera, 2003), 47.
[5] Syeikh Ibrahim Al-Baijury , Sarhil ‘Allamah Ibn Qosim Al-Ghuzy, (Surabaya : Maktabah Asy-Syeikh Muhammmad Ibn Ahmad Nabhan wa Auladih, tth), 60.
[6] Op. Cit., hlm. 48.
[7] Shahih Muslim Juz I, (Semarang : Toha Putra, tth), 120.
[8] Op. Cit., hlm. 49.
[10] http://alfasholeh.wordpress.com/1-hadits-ke-9-taklif-penugasan-sesuai-dengan-kemampuan/ di akses tanggal 22 November 2010
[11] Asy Syaikh Jamil Zainu berkata tentang Hadits ini : “Bahwasannya akan ada suatu kaum di kalangan Muslimin yang mereka meyakini bahwa zina memakai sutera asli minum khamar dan musik itu halal padahal haram
[12] http://rausanulqalbu.blogspot.com/2010/04/wasiat-wasiat-lukmanul-hakim-kepada.html di akses tanggal 22 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar