Tidak sedikit orang (bukan mahasiswa) menyayangkan peran mahasiswa sebagai agen perubahan. Mereka beranggapan mahasiswa kini sudah terbius dengan romantisme sejarah sehingga menumpulkan taring yang diagung-agungkan 11 tahun silam. Berbagai kajian dilakukan, mulai dari diskusi, seminar, pelatihan, dan kegiatan lain tentang pergerakan, namun tetap saja belum mampu mengungguli geliat mahasiswa tempo dulu. Asumsi saya, mahasiswa sekarang belum siap menjadi agen perubahan. Mengerti dan memahami saja belum apalagi memperjuangkan.
Banyak faktor yang mempengaruhi alasan saya ini terutama mengenai bentuk kaderisasi. Di kebanyakan Perguruan Tinggi yang belum ada standar acuan yang jelas. Akibatnya mahasiswa belum banyak mengetahui bagaimana seharusnya menjadi mahasiswa yang diharapkan bangsa. Belum banyak mahasiswa yang tahu akan basis teori critical pedagogy. Siapa itu Mazhab Fankfurt, Antonio Gramsci, dan Paulo Freire. Disadari atau tidak, bagi mahasiswa yang pernah menggeluti pemikirannya tentu punya kesadaran kritis untuk mengubah diri dan lingkungannya. Jika tidak, kemungkinan besar mahasiswa akan tetap terkungkung dengan kejumudan.
Subyektifitas mahasiswa sangat dipengaruhi oleh apa yang ia baca dan dipelajari. Lingkungan kampus, sosial masyarakat, dan keluarga merupakan wahana transformasi pemikiran. Kaderisasi ini penting mengingat isu yang sedang berkembang belakangan ini tentang radikalisme mahasiswa saat turun jalan. Tujuannya antara lain mengingatkan kembali agar mahasiswa pantang menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang), atau mahasiswa KPK (kuliah-pacaran-kos). Begitu tiap harinya. Jika ini dibiarkan bagaimana mungkin agen perubahan menjadi nyata?
Kepekaan terhadap tantangan dalam hal ini perlu juga ditanamkan. Sejauh mana mahasiswa mahasiswa mengetahui lemahnya SDM di indonesia, fenomena globasisasi, kemiskinan, kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya. Dimaksudkan agar muncul kesadaran individu yang diharapkan melahirkan perubahan sosial yang diharapkan. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri kemudian berusaha merubah orang lain dan sosial. Revolusi sosial merupakan amanah bangsa dan mahasiswa bertanggung jawab penuh merealisasikannya.
Pendidikan revolusioner dengan kesadaran kritisnya seperti apa yang digagas oleh Paula Allman (1998) tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia menggagas sekarang inilah saatnya memberdayakan kaum tertindas dan mentransformasikan ketidakadilan sosial yang terjadi di sekitar kita. Meskipun gagasan ini bersifat tunggal dan homogen, namun representasinya mampu mengubah wajah bangsa. Pada siapa lagi negara berhharap akan kemakmuran, jika tidak dari generasi mudanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar