A.Pendahuluan
Teori hermeneutika Habermas barangkali merupakan sebuah terobosan baru untuk menjembatani ketegangan antara obyektifitas dengan subyektifitas, antara yang idealitas dengan realitas, antara yang teoritis dengan yang praktis. Dan inilah sebuah prestasi Habermas dalam disiplin hermeneutika. Hermeneutika yang awal mulanya berkutat pada wilayah idealisme, oleh Habermas telah ditarik secara “paksa” turun untuk bisa memahami lapangan realisme-empiris.[1] Memang jauh sebelumnya, hermeneutika hampir sepenuhnya berkutat pada wilayah teks. Dan pada masa Dilthey—yang latar belakangnya sebagai seorang sejarawan—menyeret hermeneutika ke wilayah sosial untuk menafsirkan sejarah. Pada era ini aspek subyektifitas dan obyektifitas sudah mulai diperhitungkan untuk menafsirkan tek dan realitas sosial. Hal ini sebagai upaya untuk mengcounter balik terhadap arogansi ilmu eksakta yang mulai mendominasi wilayah ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Bagi Dilthey, wilayah sosial-humaniora adalah wilayah yang penuh dengan perubahan dan kompleksitas, ia tidak berjalan linier seperti ilmu eksakta. Oleh karena itu, untuk menafsirkan fenomena sosial, yang di dalamnya termasuk sejarah, tidak cukup dengan mengandalkan obyektifitas, unsur subyektifitas mau tidak mau juga ikut campur di dalamnya dalam rangka mengkonstruksi makna.Ini tentu berbeda dengan hermeneutika sebelumnya, yakni hermeneutika konservatifnya Schliermacher, yang lebih memprioritaskan aspek obyektifitas dalam praktik hermeneutik.Konsep subyektifitas dan obyektifitas hermeneutika ini oleh Habermas telah ditarik ke wilayah yang lebih radikal. Bagaimana konstruksi pemikiran hermeneutika tumbuh dan berkembang dalam kapasitas subyek yang sangat intens pada bidang sosial-filsafat non hermeneutika? [2]
Ini tidak terlepas dari usaha kerasnya untuk secara gigih menentang terhadap positivisme. Oleh karena itu, sembari menolak untuk kembali ke pandangan ontologis dan epistemologis filsafat klasik, Habermas berusaha merumuskan ulang dan memprtahankan beberapa tesis utamanya, yakni “ketidak terpisahan antara kebenaran dan kebaikan, kenyataan dan nilai, teori dan praktik. [3]Namun yang pasti usaha Habermas dalam mengkonstruksi teori kritis ini tetap diorientasikan pada wilayah praktis. Praktis di sini adalah wujud emansipasi manusia. Dengan ini jelas, teori kritik tidak semata mengunggulkan acuan obyektifitas melainkan juga melibatkan peran para subyek. Karena pada prinsipnya, ranah praktis merupakan ranah komunikasi intersubyektif [4]
B.Habermas dan teori kritik.
Sebelum menejelajahi rimba pemikiran habermas tentang teori kritisnya, hal prtama yuang harus diketahui adalah latar belakang intelektual Habermas. Karena latar belakangnya ini juga sangat brpengaruh terhadap konstruk pemikirannya. Pertama kali yang harus digaris bawahai adalah bahwa Habermas adalah tokoh yang lebih dikenal sebagai pemikir ilmu sosial. Ia dikenal luas sebagai salah seorang tokoh madzhab Frangkfurt. Pada madzhab frangkfurt inilah filsafat kritis atau teori kritis lahir. Madzhab kritis ini bisa dikategorikan dalam dua fase: fase pertama diisi oleh tokoh-tokoh semisal Marx Hokheimer, Herberth Marcuse dan Theodore Adorno. Pada fase ini madzhab kritis pertama kali didengungkan oleh Horkheimer, melalui karyanya, “Traditional and Critical Theory”.[5]
Sementara fase kedua telah diisi oleh generasi tokoh semisal Habermas. Lukacs, Karl Korsch dan Gramsci. Ditangan Habermas inilah teori kritis benar-benar mencapai puncak performanya. [6]Misi gerakan madzhab kritis adalah upaya memperjelas secara rasional struktur masyarakat industri sekarang dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. [7]Dalam penjelasannya, madzhab frankfurt bertolak dari pemahaman rasio yang sifatnya teknikalis-instrumentalis. Mereka melihat bahwa ada yang keliru pada masyarakat industri tentang pemahamannya mengenai rasio. Baginya rasio teknikalis-instrumental, yang telah membentuk struktur dan konfigurasi masyarakat industri, adalah bentuk penyimpangan dari makna rasio yang sebenarnya. Inilah yang menjadi target kritiknya. Oleh karena itu, mereka mencoba untuk merumuskan ide tentang rasio yang lebih orisinil, rasional dan fundamental, sebagai titik acuan untuk merumuskan kelemahan-kelemahan masyarakat industri dan sekaligus bisa merekonstruksi struktur dan bangunan kehidupan masyarakat yang baru. Untuk memblejeti asal usul terbentuknya rasio instrumental yang mendominasi masyarakat industri, madzhab frankfurt mulai melacaknya kebelakang dan menemukannya pada era aufklarung. Hasil diagnosa madzhab frangfurt menunjukkan bahwa rasio instrumental merupakan sebuah cita-cita dan tujuan masyarakat yang hidup di era aufklarung. Rasio yang diagung-agungkan dan diidealkan oleh masyarakat aufklarung ini bertujuan membbaskan manusia dari ancaman alam dan membangun suatu tatanan politik yang-sosial yang dapat melaksanakan cita-cita kebebasan dan keadilan (Fahruddin:2002/190)
Hubungan Habermas dengan generasi pertama madzhab Frankfurt adalah bahwa Habermas lebih berorientasi pada kajian bahasa sebagai pendekatan kritis. Sehingga Habermas mampu berkomunikasi terhadap budaya sosial. Pada prinsipnya madzhab frankfurt adalah sebuah gerakan neo marxis. Ia merupakan bentuk kelanjutan dari filsafat marxis. Teori kritis sendiri tak bisa lepas dari teori konflik yang telah diintridusir oleh Marx. Begitu juga dengan Habermas. Selain Marx Habermas juga terpengaruh oleh dialektikanya hegel. Dialektika bagi Habermas, merupakan sesuatu yang dianggap benar apabila dilihat dari totalitas hubungannya. Hubungan ini disebut negasi. Artinya hanya melalui negasilah kita bisa menemukan keutuhan dan keseluruhan. Dalam dialektika, apapun yang ada dianggap sebagai kesatuan dari yang berlawanan. Negasi ini ditangan Habermas ditransformasikan menjadi filsafat kritis.
Selanjutnya, meskipun madzhab frankfurt adalah kontinuitas dari filsafat yang di bangun Marx, namun, dalam pandangan Habermas, madzhab frankfurt generasi pertama ternyata tidak mampu mengatasi reduksionisme Marx. Seperti yang diketahui bahwa filsafat Marx adalah filsafat yang mereduksi aspek kehidupan manusia. Di mana, manusia yang multi struktur dan latar belakang, hanya dipandang sebagai mahluk material. Ini terlihat dalam pandangan Marx yang merubah filsafat praktis menjadi filsafat kerja, di mana produksi material dijadikan sebagai paradigma dasar bagi analisisnya terhadap tindakan manusia. Kecenderungan mereduksi praksis menjadi techne ini (menjadi sekadara tindakan instrumental) diimbangi Marx dengan membuat konsp tentang kerja sebagai kerja sosial [8]
Kerja sosial yang dimaksudkan Marx adalah aktifitas-aktifitas produktif manusia yang berlangsung dalam tatananan institusional yang dijembatani secara simbolik;daya –daya produktif yang diaplikasikan pada alam yang berlangsung hanya dalam relasi-reklasi produksi trtentu. Meskipun demikian , Marx tidak memandang produksi materi dan interaksi sosial sebagai dua dimensi praktik manusia yang tak bisa direduksi[9]. Dalam materialisme Marx, aspek kehidupan yang paling penting adalah kerja. Karena dengan kerja manusia bisa menghasilkan produk-produk teknologi dan kebudayaan. Filsafat pekerjaannya Mark ini hanya menyentuh pada wilayah manusia sebagai pembuat alat saja dan menegasikan manusia sebagai alat penyimbol. (Fahruddin:195)
Oleh karena reduksionismenya Marx ini, maka rasio instrumental yang awalnya dijadikan oleh generasi pertama madzhab frankfurt, untuk memahami dimensi proses pemberdayaan historis, yaitu dimensi transformasi wilayah ekstrnal (teknologi dan industri) dan wilayah internal masyarakat (individuasi), dalam praktiknya tetap menegasikan dimensi internal-batin. Hal inilah yang mengakibatkan terdepaknya nilai-nilai subyektifisme-praksis-emansipatoris. Dalam konteks demikian itu, Habermas berkesimpulan bahwa Marx dan Generasi awal madzhab Frankfurt telah melupakan satu dimensi praksis yakni komunikasi. Dengan ini Habermas memposisikan secara berhadap-hadapan antara konsep komunikatif dengan instrumental. Pembedaan ini meneguhkan tentang esensi ranah praksis, bahwa ranah praksis adalah ranah komunikasi intersubjektif. [10]
Maka secara fungsional, Habermas memperkenalkan hermeneutika ke dalam ilmu-ilmu sosial adalah untuk melawan objektivisme pendekatan-pendekatan ilmiah atas dunia sosial. Eksistensi dan keberhasilan hubungan, metode-metode yang diobyektivikasikan, pada saat yang sama menunjukkan semata-mata kepada batas prsoalan interpretasi atas makna yang dimaksud secara subyektif: eksistensi sosial bukan hanya dikaraktrisasikan oleh kecendrungan-kecnderungan tindakan –tindakan tersebut, melainkan juga konteks“obyektif” yang menghilangkan batas-batas kesadaran dan realisasi tujuan-tujuan. [11]
Dengan demikian bisa dibaca, bahwa teori kritis Habermas ini merupakan program integratif-komunikatif dalam wilayah sosiologis, ia berusaha mengkombinasikan antara hermeneutik, refleksi emansipatoris dan pengetahuan analisis kausalis agar bisa memberi basis baru bagi teori kritis sambil meletakkan batasan kritis pada absolutisme ilmu-ilmu kemasyarakatan. [12]. Dinamakan teori kritis karena salah satu aksinya adalah melakukan kritik idiologis terhadap rasio instrumental yang sangat dekat dengan paradigma ilmu pengetahuan alam yang sangat mempengaruhi paradigma ilmu pengetahuan sosial. [13]
Teori kritis ini dicirikan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.Krisis terhadap dinamika masyarakat. Sejak Marx, sudah dijalankan kritik terhadap ekonomi dan politik pada zamannya. Madzhab Frankfurt juga mempertanyakan sebab-sebab yang mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat.
2. Teori kritis berpikir secara historis dan berpijak pada masyarakat yang historis.
3.Teori kritik juga berorientasi pada dimesi kritik internal. Artinya teori kritis juga openable to be critiqued. Karena teori kritis harus punya kekuatan, kebebasan dan nilai untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari menjadi sebuah idiologi.
4. Teori kritik tidak memisahkan teori dan praktik. Teori kritik mnunjukkan bahwa teori atau ilmu yang bebas nilai adalah palsu (Lanur:6)
Terkait dengan teori kritiknya Habermas ini, Paul Ricour [14]. telah membandingkan dengan teori hermeneutiknya Gadamer. Hal ini karena teori kiritk cukup tajam dalam melakukan kritik terhadap teorinya Gadamer. Perbedaan tersebut menurut Ricour terdapat pada:
*. Kalau Gadamer meminjam konsep prasangka dari filsafat romantis dan menafsirkan ulang menggunakan pemikiran Heideggr, maka Habermas mengembangkan konsep kepentingan yang berasal dari tradisi Marxisme seperti yang ditafsir ulang oleh Lucaks dan Madzhab Frankfurt.
*Kalau Gadamer tertarik pada ilmu kemanusiaan, yang memfokuskan pada usaha hari ini dalam menafsirkan ulang pelbagai tradisi kebudayaan, maka Habermas menekuni ilmu sosial kritis, yang tak lain bertujuan untuk menampik reifikasi institusional
*Kalau Gadamer telah mengusung kesalahpahaman sebagai tantangan bagi pemahaman,Habermas mengembangkan teori idiologi yang ditafsirkannya sebagai penyelewengan sistematis atas komunikasi yang dilakukan oleh kuasa tersembunyi.
*Kalau Gadamer mendasarkan tugas hermeneutika pada ontologi dialog yang menjadi hakekat kita, Habermas mengemukakan komunikasi tanpa batas dan hambatan yang ideal regulatif, yang tidak mendorong kita dari belakang tapi mengarahkan kita ke depan.
Dasar-dasar teori kritik Habermas
Dengan pola lebih mengedepankan komunikatif-integratif yang demikian itu, maka Habermas mendasarkan teori kritknya pada, pertama Psikoanalisa Frued. Dengan mengedepankan aspek komunikasi ini maka secara otomatis juga harus mengetahui kondisi psikologis. Karena psikologis merupakan faktor fundamental yang bisa menyingkapkan aspek komunikatif manusia meskipun berada di alam bawah sadar. Dan wilayah bawah sadar atau transformasi internal batin inilah yang dilanggar oleh rasio industrial yang instrumentalistik.
Sebagai penyingkapan paling jelas mengenai struktur komunikasi yang sesungguhnya, psikoanalisis juga menydiakan sebuah batu pijak menuju sebuah teori mengenai bahasa. Bahkan psiko analisis menyediakan Habermas model kerangka teoritis yang mengijinkan kita mentransendensikan konsensus komunikatif secara meta hermeneutik. Sebagai hermeneutik dalam ia dapat menguraikan bentuk-bentuk komunikasi terprivatisasi melalui pemahaman mengenai adegan (scenic understanding). [15]
Dalam dunia komunikasi tentu banyak sekali faktor yang menjadikan proses komunikasi menjadi terdistorsi. Pola-pola komunikasi yang kelihatannya “normal, kata Habermas, namun bisa trdistorsi secara sistematis. Inilah yang disebut Habermas dengan Psudo komunikasi. Sebuah fenomena ketidaksadaran para pelaku komunikasi bahwa dalam proses komunikasinya terdapat gangguan sehingga kalau ditelisik lebih dalam mereka sebenarnya berada dalam kesalahpahaman. Lebih dari itu, interpretasi Habermas tentang psikoanalsis ini sebagai salah satu komponen bagi teori kecakapan komunikatif digunakan untuk memprtemukan Gadamer dan Frued:ini memampukannya menolak klaim hermeneutika atas universalitas dengan mengidentifikasikan kondisi-kondisi psikologis, dan pada akhirnya aksi teoritis yang melatih kemampuan komunikatif ini hanya dapat diperbaiki namun tidak dapat dijelaskan oleh refleksi hermeneutic. [16]
Kedua , konsep tentang penjelasan dan pemahaman. Di dalam dua konsep ini terdapat perbedaan karakter dan oleh karena itu juga mempunyai prbedaan orientasi. Karakter penjelasan yang pertama adalah ia bersifat theoritical oriented-monologis-devinitif. Dengan sifat yang demikian ini, seolah-olah sebuah ralitas tidak bisa dikonstruk, ia benar-benar obyektif dan berada di luar penegtahuan subyek, ia ada sebelum ditemukan interpretasi apapun dari subyek. Kedua, karena realitas sudah lebih dulu ada sebelum ditemukan oleh subyek maka akan trcipta pengetahuan maksimal tentang makna fakta di masa present. Tanpa intervensi dari subyek, sebuah fakta sudah bisa mengkonstruksi makna secara utuh. Ketiga, tapi meskipun di dalamnya sudah terdapat makna secara utuh, bukan berarti itu merupakan hal yang final. Harus diketahui bahwa setiap kebenrana pasti ada salah dan kurangnya. Dan teori kritis adalah mencari sisa kekurangan dan kesalahanya tadi. Dari tiga karakter tersebut Habermas ingin menunjukkan bahwa ada obyektifikasi dan otonomi sebuah fakta. Makna fakta menajdi tak tersentuh. Dalam konteks inilah ia mengabut prinsip-prinsip seorang saintis.[17]
Sementara karakter dari sebuah pemahaman adalah kebalikan dari karaktr penjelasan. Ia bersifat experiental-oriented-subjektif, ia juga mrupakan lokus bertemunya pengertian teoritis (penjelasan) dan pengalaman (pemahaman), sehingga bangunan makna yang terdapat di dalam obyek juga terpengaruh oleh sang subyek. Jadi subyek brhak memaknai sebuah obyek. Dari sifat-sifat pemahaman ini subtyek dituntut aktif dalam usaha menemukan makna. Tanpa subyek tak akan ditemukan makna obyek.
Dengan kombinasi dialektis anatara konsep penjelasan dan pemahaman, maka Habrmas berusha mengawinkan anatra subyektifitas dengan obyektifitas, antara yang otentik dengan akulturatif, antara yang saintis dengan yang filosofis. Dengan ini, dari sudut saintis, Habermas berusaha melakukan pembumian makna, supaya ia bisa ditangkap oleh otak manusia. Sementara dalam sudut filosofis, ia hendak melakukan dialogisasi makna antara bahasa murni dan bahsa tak murni(filosofis).
C. Kesimpulan
Teori kritik Habermas merupakan jenis hermeneutika yang berusaha mengawinkan antara obyektifitas dengan subyektifitas, antara yang saintis dengan filosofis, antara yang ontentik dengan yang artikulatif. Teori kritis juga berusaha untuk menelanjangi teori tradisional, karena ia memposisikan obyek sebagai sesuatu yang tak tersentuh (untouchable) alias obyektif, apa adanya. Sehingga sulit ditangkap maknanya oleh manusia. Hal ini menjadikan obyek terkesan sangat sakral dan harus diterima secara bulat-bulat.
Prinsip teori kritis, seperti yang dikatakan oleh Th. Sumartana, terhadap obyektifisme adalah bahwa obyektifisme itu sendiri tak bisa lepas dari peran interpretasi manusia sebagai subyek. Maka obyketiifisme itu nihilisme dan absurd. Bagaimanapun juga subyek dan interpretasi tak bisa lepas dari hukum sejarah. Maka bagi habermas antara konsep penjelasan dan pemahaman harus selalu didialogkan untuk menggapai sebuah makna obyek.
DAFTAR PUSTAKA:
-Fahruddin, Arif, Hermeneutika transendental, IRCISOD Yogyakarta, 2003
-Ricour, Paul, Hermeneutika ilmu sosial, Kreasi Wacana, Yogyakarta ,2006
-Habermas, Jurgen, Krisis legitimasi, Qalam, Yogyakarta 1975
-Bleicher, Josef, Hermeneutika Kontemporer, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta , 2003
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Arif Fahruddin dalam Hermeneutika Transendental, tentang Habermas, 2003. hlm188
[2] Ibid.
[3] uraian Thomas McCarthay tentang Habermas dalam krisis legitimasi,1975. hlm.74
[4] Paul Ricour, dalam Hermeneutika Ilmu Sosial,2006, bab Kritik Idiologi:habermas. Hlm.108
[5] A.Bagus Laksono, Theori Kritis dan Teori tradisional; program teori kritis menurut Max Horkheimer, 1997.Hlm.15
[6] Arif Fahruddin, hlm.189
[7] Alex Lanur, “Madzhab Frankfurt”, artikel dalam majalah Driyarkara, hlm.5
[8] Thomas Mc.Charthy, dalam Krisis legitimasi Jurgen Jabermas, 1975.hlm.75
[9] Ibid
[10] Paul ricour, Hermeneutika Ilmu Sosial, 2006.hlm.109
[11] Josef Belicher,Hermeneutika Kontemporer, 2003.hlm.237.
[12] Arif Fahruddin. 2003, hlm.197
[13] Ibid
[14] Paul Ricour, dalam Hermeneutika ilmu-ilmu sosial , 2006.106
[15] Josef Bleicher, Hermeneutika kontemporer, 2003.hlm.240
[16] Ibid, hlm.243
17 Arif Fahruddin, Hermeneutika transendental,2003.hlm.198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar