Unggul dalam Mutu Berdaya Kompetitif

Unggul dalam Mutu Berdaya Kompetitif
LOGO KSC

Minggu, 26 Desember 2010

tipologi pondok pesantren dalam konstelasi pembaharuan pendidikan islam (studi pada pesantren-pesantren di kota kudus)


PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam Program Strata I
dalam Ilmu Tarbiyah jurusan Pendidikan Agama Islam



Disusun Oleh :
Miftahuddin
073111105


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010

  1. Judul
TIPOLOGI PONDOK PESANTREN DALAM KONSTELASI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
( STUDI PADA PESANTREN-PESANTREN DI KOTA KUDUS )
  1. Latar Belakang Masalah
Pesantren,1 menurut pandangan Abdul Djamil pada dasawarsa terakhir ini terlihat sedang memasuki babak baru di tengah-tengah dinamika sosio-kultural masyarakat Indonesia. Fenomena menguatnya kembali peran pesantren dalam membentuk kebudayaan bangsa indonesia menurutnya semakin signifikan.2 Hal ini, menurutnya didukung oleh fungsi pesantren sendiri yang di samping sebagai lembaga pengemban intelektual, pesantren juga bervisi sebagai pembinaan moral masyarakat. Oleh karena itu, pesantren memiliki posisi nilai tawar yang tinggi karena berbagai macam pemikiran mencoba berdialektika tarik ulur antara idealitas dan realitas dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Sisi idealitasnya, di zaman yang multikompleks ini tentunya pendidikan ideal merupakan keniscayaan. Pengetahuan yang memadai dan mampu berkompetisi merupakan bagian dari keniscayaan tersebut. Namun, tak bisa dipungkiri realitas menunjukkan tantangan globalisasi semakin tak terkendalikan. Pendidikan Islam termarginalkan secara tragis ditengah kemelut krisis globalisme. Dalam keadaan demikian, pesantren diharapkan mampu menjembatani berbagai ketimpangan yang terjadi.
Kajian mengenai pesantren sangat potensial untuk dieksploitasi, baik secara politis, ekonomis, dan discourse (wacana) karena realitas pesantren sekarang yang begitu banyak belum tentu mampu membendung arus zaman yang terus berkembang. Kondisi semacam ini, memaksa mereka untuk membenahi diri bagaimana menjaga eksistensi terhadap masyarakat pragmatis dan materialis dalam gejolak modernisasi. Pesantren merasa memiliki beban dan tanggung jawab bagaimana untuk membangkitkan kembali etos pesantren guna menggapai format pesantren ideal di zaman modern.3
Dalam perspektif historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous)4 karena beberapa penelitian menyebutkan lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Nusantara sejak zaman kekuasaan Hindu-Budha.5 Meskipun belum diketahui secara jelas kapan pesantren pertama kali didirikan, namun ketika masa walisongo (abad 16 – 17 M) sudah terlacak sebuah pesantren yang didirikan Syeikh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Konon pesantren yang didirikan tersebut merupakan pesantren pertama dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia.6
Perkembangan awal pesantren ini bisa dilihat dari menguatnya identitas pesantren yang khas sebagai lembaga pendidikan agama, meminjam istilahnya Abdul Djamil, dikatakan amat kosmopolit. Pada tahap ini, eksistensi pesantren telah selaras dan sesuai dengan sebagaimana apa yang diperlihatkan oleh para wali dan santrinya yang mengambil peran-peran strategis di bidang sosial, ekonomi dan politik.7 Kemudian pada tahap selanjutnya lebih diakulturasikan dengan kebudayaan dan tradisi jawa yang berkembang. Maka, dari peran Syeikh Maulana Malik Ibrahim inilah kemudian lahir ribuan muballigh yang menyebar ke seluruh Tanah Jawa dan daerah-daerah sekitarnya.
Menarik untuk sekedar dijadikan discourse, bahwa pesantren yang akulturatif antara kebudayaan dan tradisi Jawa inilah yang menjadikan pesantren diidentifikasi sebagai lembaga keagamaan kelanjutan dari mandala di zaman kekuasaan Hindu. Dimana Prof. Djamil mencontohkan pesantren Tegalsari Ponorogo sebagai model pesantren semacam ini. Namun, yang menjadi pertanyaannya apakah semua pesantren merupakan kelanjutan dari mandala tersebut? Dalam hal ini, Hanun Asrohah (2002) dalam Disertasinya menepis anggapan tersebut dengan menyatakan jika sebuah pesantren didirikan di atas sebuah tanah perdikan,8 maka boleh jadi pesantren tersebut mempunyai tradisi dan struktur yang sama dengan mandala. Contoh pesantren pada abad ke-18 yaitu pesantren Tegalsari di Ponorogo, Banjarsari dan Sewulan di Madiun atau pada abad ke-19 seperti pesantren Maja Pajang dekat Surakarta dan Mlangi dekat Yogjakarta.9
Namun, jika model pesantren yang dimaksud tidak didasarkan pada akulturasi kebudayaan dan tradisi, maka pesantren tersebut bukan kelanjutan dari mandala, melainkan model para ‘ulama Jawa yang belajar di Makkah dan Madinah. Sebagaimana pendapat George Maksidi (1981), yang menyampaikan bahwa lembaga pendidikan pesantren di Indonesia menyerupai madrasah di Baghdad pada awal abad ke-11 dan ke-12 M.10 Pendapat ini dikuatkan oleh Martin Van Bruinessen (1992) yang menyatakan lahirnya pesantren di Jawa akibat dari tekanan yang diberikan kesultanan yang memarginalkan penyelenggarakan pendidikan Islam sehingga para ‘ulama banyak yang menimba ilmu di Mekkah dan Madinah, diantaranya belajar pada ‘ulama Kurdi. Kemudian pulang ke tanah kelahiran di Jawa dengan mengadakan pembaharuan pendidikan Islam terutama pesantren.11
Meskipun dikatakan sebagai lembaga pendidikan Islam tertua dan sempat dikatakan sudah mapan di zaman para wali, produk pesantren tidak kalah memiliki kemampuan yang kompetitif dalam merespons tantangan zaman. Begitu juga pesantren menyadari bahwa penggiatan diri yang hanya berorientasi pada wilayah keagamaan tidak lagi memadai. Maka pesantren lebih proaktif dan memberikan ruang bagi pembenahan dan pembaharuan sistem pendidikan pesantren dengan senantiasa harus selalu apresiatif sekaligus selektif dalam menyikapi dan merespons perkembangan yang ada.
Maka dengan atas dasar pebaharuan di atas, Azyumardi Azra sangat tegas menyatakan eksistensi12 pesantren dengan berbagai perkembangan saat ini masih tetap survive, meskipun perubahan atau modernisasi pendidikan Islam diberbagai kawasan dunia muslim terus dilancarkan. Azra juga mensinyalir tidak banyak lembaga pendidikan tradisional Islam seperti pesantren yang mampu bertahan. Bahkan kebanyakan punah setelah tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum atau mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan umum, atau sekurang-kurangnya mengadaptasi diri dan sedikit banyak mengadopsi isi dan metodologi pendidikan umum.13
Bila kita telusuri sejarah, Minangkabau,14 merupakan salah satu daerah di Sumatra Barat yang oleh kebanyakan peneliti dianggap sebagai embrio masuknya ide-ide modernis ke Nusantara. Pesantren inilah yang memberikan inspirasi pesantren lainnya dalam menyikapi perubahan yang ada. Salah satu yang menjadi alasannya adalah hubungan masyarakat Minangkabau terjalin mesra dengan para pembaharu Arab melalui media haji sehingga berbagai ide-ide pembaharuan banyak dimanfaatkan. Di samping itu pula, masyarakat tersebut mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mampu unggul dalam berkompetisi jika mereka terus melanjutkan pembaharuan dengan cara-cara tradisional dalam menegakkan Islam.15 Kesadaran akan kelemahan dan mau mengadakan pebaharuan inilah yang disebut oleh Abdul Djamil (2005) sebagai dinamika perkembangan pesantren. Bagaimana tidak, berkat pembaharuan nilai-nilai etika pesantren masih menjadi pilihan alternatif yang cukup menjanjikan. Pesantren tampil dalam format yang variatif mulai dari pesantren yang masih bertahan dengan tradisi kitab kuning saja, sampai dengan yang mau berinteraksi dengan aspek-aspek kemodernan.16
Gagasan pembaharuan pendidikan Islam yang menemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga modern yang diadopsi dari sistem pendidikan kolonial Belanda.17 Pada tahun 1920-an, banyak pesantren mulai mengembangkan metode pengajaran dan kurikulum baru, antara lain dengan sistem kelas dan materinya mencakup pengetahuan umum (pertama kali model ini diperkenalkan oleh beberapa madrasah di Sumatera dan Jawa sejak dekade pertama abad ke-20).18 Seperti misalnya pesantren Gontor yang telah mengadopsi kurikulum modern sehingga menjadi pola pesantren modern. Sementara pesantren Tebu Ireng di Jombang dan pesantren Singosari di Malang yang menerapkan sistem kurikulum kombinasi/gabungan.19 Dan pada kebanyakan pesantren salafiyah yang menggunakan sistem tradisional terdapat di daerah-daerah pedalaman perdesaaan.
Tercatat setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tidak sedikit pesantren menerapkan pendidikan dengan system madrasah, dan sekarang terus berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Pesantren dalam tahap ini bahkan sudah berani membuka sekolah-sekolah umum (SD, SMP, SMA dan SMK). Oleh karena itu, A. Qodri A. Azizy mengklasifikasikan tipe-tipe pesantren yang variatif ini dengan tipologi sebagai berikut :
Tipe I : Pesantren yang hanya menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerakan kurikulumnasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan (MI, MTs, MA, dan PT Agama Islam), maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan PT Umum), seperti pesantren Tebu Ireng Jombang, pesantren Futuhiyyah Mranggen, dan pesantren Syafi’iyyah Jakarta.
Tipe II : Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah danmengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, pesantren Maslakul Huda Kajen Pati (Matholi’ul Falah) dan Darul Rohman Jakarta.
Tipe III : Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah (madin), pesantren salafiyyah Langitan Tuban, lirboyo Kediri dan pesantren Tegal Rejo Magelang.
Tipe IV : Pesantren yang hanya sekedar menjadi tempat pengajian (majlis ta’lim)
Tipe V : Pesantren yang berkembang menjadi tempat asrama anak-anak pelajar sekolah umum dan mahasiswa.20
Pembaharuan yang dimaksud bukan berarti harus mengadaptasikan diri sepenuhnya, namun pembaharuan yang mampu mengubah perubahan pada masyarakat dan tidak meninggalkan karakter khas21 pesantren selama ini. Contoh historis, perubahan/modernisasi yang dibawa oleh kaum paderi dalam aspek pendidikan Islam adalah keberhasilan paderi membuat perubahan peran surau.22 Meskipun tidak dipungkiri perubahan tersebut mendapat perlawanan yang signifikan oleh kaum adat yang anti terhadap modernitas. Bahkan Deliar Noer mensinyalir sebenarnya pihak paderi sudah mengadakan negosiasi dengan kaum adat, akan tetapi kaum adat merasa kekuasaannya akan teralihkan hingga para akhirnya kaum adat mencari bantuan pada pihak Belanda. Kerjasama antara kaum adat inilah yang menjadikan Minangkabau setelah itu dijajah oleh Belanda.
Meskipun berbagai kebijakan Belanda telah ditentang oleh berbagai gerakan Islam di Indonesia, namun tetap membawa nuansa baru di bidang pendidikan. Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional, dimana metode yang diterapkan lebih maju dari sistem pendidikan tradisional.23 Dasawarsa terakhir abad ke-19, menunjukkan Belanda memperkenalkan sistem pendidikan liberal. Hadirnya lembaga pendidikan tersebut, posisi pesantren yang awalnya sudah mapan menjadi terancam. Meskipun demikian, kecurigaan pesantren terhadap ancaman lembaga pendidikan kolonial tidak selalu berwujud penolakan yang a priori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena “menolak sambil mencontoh”, demikian Karel Steenbrink (1994) mengistilahkannya. Dalam hal ini pendidikan Islam mengalami modernisasi karena pengaruh Belanda yang metode dan materi pengajarannya telah mengalami modifikasi.
Pesantren dan pembaharuan, jika dihadapkan dengan dinamika perkembangan pendidikan Islam merupakan dua term yang saat ini sangat menarik untuk dipelajari. Di samping pembaharuan merupakan kajian yang sangat relevan bila dikaitkan dengan konteks keindonesiaan yang sedang dihujani arus modernisasi, pendidikan pesantren saat ini tengah disinyalir merupakan propotipe model pendidikan yang ideal bagi bangsa indonesia.24 Perlunya mengadakan pembaharuan karena pada akhir-akhir ini pesantren dinilai tidak responsif terhadap perkembangan zaman, artinya sulit atau bahkan tidak mau menerima perubahan. Pesantren tetap merasa kokoh dengan mempertahankan pola pendidikannya yang tradisional (salafiyah). Oleh karena itu, klaim ini ini menjadikan pesantren semacam institusi yang cenderung ekslusif dan isolatif dari kehidupan sosial umumnya. Bahkan lebih sinis lagi ada yang beranggapan pendidikan pesantren tergantung selera kyai. Masih banyak orang yang memandang sebelah mata terhadap pesantren. Hal ini muncul karena memang banyak orang tidak mengenal dan tidak mengerti tentang pondok pesantren, sehingga mereka mempunyai penilaian yang salah terhadapnya.
Jika diadakan pengamatan lebih lanjut, Pembaharuan yang dilaksanakan di pesantren memiliki karakteristik bila dibandingkan dengan pembaharuan lainnya. Bahkan tidak salah jika dikatakan punya keunikan tersendiri, yakni unik pada kealotan dan kuatnya proses talik ulur antara sifat dasar pesantren yang tradisional dengan potensi dasar modernisasi yang progesif dan berubah-ubah. Sehingga ditinjau dari segi komponen pebentuknya, menurut Martin V. Bruinessen (1994) pesantren mempunyai ragam jenis, mulai dari jenis pesantren besar yang mempunyai program baik formal maupun non-formal, bahkan memiliki universitas, sampai jenis pesantren pengajian kitab yang banyak memiliki pondok dan masjid.25
Pendidikan Pesantren, meskipun dalam upaya pembaharuan pada umumnya masih menyelenggarakan misinya sebagai lembaga pendidikan “tafaqquh fi al-din”, baik itu pesantren yang terbayang-bayangi oleh arus modernisasi maupun pesantren tradisionalis yang nuansa kejawaannya masih kental. Disamping untuk mempertahankan tradisi agar pesantren tidak tercerabut dari akar utamanya yang telah melembaga selama ratusan tahun, Pesantren ini sedikit banyak mengganti sistem lama dengan sistem yang baru. Jadi, modernisasi tidak kemudian membuat pesantren terbawa arus sekularisasi karena ternyata pendidikan sekuler yang sekarang ini menjadi tren, dengan balutan pendidikan modern, tidak mampu menciptakan generasi mandiri. Sebaliknya, pesantren yang dikenal dengan tradisionalnya justru dapat mencetak lulusan yang berkepribadian dan mempunyai kemandirian.26
Perjalanan panjang sejarah pesantren di Indonesia sejak masa penjajahan hingga era awal pemerintahan orde baru membawa pesantren pada posisi termarjinalkan. Sehingga jika dikatakan, seandainya Indonesia tidak pernah di jajah, berbagai pondok pesantren tidaklah begitu jauh terperosok ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil seperti sekarang, melainkan akan berada di kota-kota atau pusat kekuasaan dan ekonomi, sebagaimana terlihat pada awal perkembangan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan agama yang amat kosmopolit dan tentunya pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh pondok pesantren.
Setelah melalui beberapa kurun waktu, pesantren tumbuh dan berkembang secara subur dengan tetap menyandang ciri-ciri tradisionalnya. Sebagai lembaga pendidikan indigenous, menurut Azra, pesantren memiliki akar sosio-historis yang cukup kuat sehingga membuatnya mampu menduduki posisi yang relatif sentral dalam dunia keilmuan masyarakatnya dan sekaligus bertahan di tengah berbagai gelombang perubahan.27
Eksistensi Pesantren ternyata sampai hari ini, ditengah-tengah deru modernisasi, pesantren tetap bisa bertahan (survive) dengan identitasnya sendiri. Bahkan akhir-akhir ini para pengamat dan praktisi pendidikan dikejutkan dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga pedidikan pondok pesantren di tanah air ini. Pertumbuhan pesantren yang semula rural based institution menjadi juga lembaga pendidikan urban, bermunculan juga di kota-kota besar. Di antaranya adalah di kota Kudus yang sampai sekarang di justifikasi sebagai “kota santri”. Culture religius yang sudah terbentuk sedemikian apik tidak lepas dari jasa para pendahulunya, yaitu Sunan Kudus dan Sunan Muria. Kedua sunan tersebut mampu membentuk subkultur, meminjam istilahnya Abdurrohman Wahid, sehingga sampai sekarang ini lahir puluhan pesantren di kota tersebut. Pada akhir tahun 2005 tercatat di Kudus terdapat 86 pesantren dari 9 kecamatan. Kesemuaan pesantren tersebut bisa dikatakan produktif dalam melakukan perubahan-perubahan pada tubuh pesantrennya.
Dari banyaknya pesantren yang tercatat di atas, tentu memiliki karakteristik tersendiri jika dilihat dari visi, misi, dan orientasi keilmuwan pesantren menjadi varian menarik untuk diteliti lebih mendalam. Fenomena semakin digandrunginya pesantren di tengah kemelut bangsa tentu tidak lepas dari spesifikasi pesantren. Oleh karena itu, spesifikasi pesantren menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Apalagi jika penelitian ini dikaitkan dengan agenda pembaharuan pendidikan Islam yang sedang di gadang-gadang oleh para pembaharunya. Meskipun demikian, dalam bebagai aspek dapat ditemukan kesamaan-kesamaan umum. Jika ditelusuri lebih lanjut, maka akan ditemukan variable-variabel struktural seperti bentuk kepemimpinan, orientasi pesantren, oragnisasi pengurus, susunan rencana pelajaran (kurikulum), karakteristik keilmuwan, dan variabel-variabel lain yang apabila dibandingkan dengan antara satu pesantren dengan pesantren lainnya, dari satu daerah ke daerah lainnya, maka akan ditemukan tipologi pondok pesantren.
Fenomena pondok pesantren di Kudus menunjukkan muncul sejumlah pesantren yang mempunyai keunikan tersendiri. Respon yang ia tunjukkkan ditengah-tengah antara menolak dan mengikuti pola-pola terbaru. Atas pilihannya, para peneliti menamakannya sebagai pesantren yang berjargon al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wal-akhdzu bi al-jadid al-ashlah. Pesantren ini dalam pola pembaharuannya sangat selektif mengadaptasi pola-pola modern yang bisa mendukung kelanggengan pendidikan pesantren yang sudah terbina sejak dulu.
Kudus menurut peneliti mempunyai banyak khasanah intelektual keislaman. Banyak peneliti menyebut kota ini kental akan dimensi sosialnya dan kaya akan kebudayaannya. Maka tidak heran, puluhan pondok pesantren yang berkembang dan survive sampai saat ini. Namun, begitu juga tak mungkin dihindari perhelatan dan pertautan pembaharuan pesantren satu ke pesantren lainnya. Oleh karena itu, sangat penting jika pola dan corak pembaharuannya, serta arah pendidikan tersebut dicermati lebih seksama dalam sebuah penelitian yang tujuannya membingkai pola pembaharuan pesantren tersebut. Bahkan tidak sedikit kyai di Kudus sebagian diantaranya tidak memiliki santri tetap, atau bahkan tidak memiliki pesantren, namun jumlah santrinya berjubel-jubel. Fenomena yang demikian adalah variabel menarik untuk diteliti. Terlebih diklasifikasikan menurut kajian keilmuannya dengan harapan agar dapat mempermudah cara pemahaman dalam mengkajinya.
Dengan mempertimbangkan uraian di atas beserta berbagai permasalahan yang melatar belakanginya, maka penelitian yang fokus studi pada pesantren-pesantren di kota Kudus ini secara tegas dengan judul, “TIPOLOGI PONDOK PESANTREN DALAM KONSTELASI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM (STUDI PADA PESANTREN-PESANTREN DI KOTA KUDUS)”.

  1. Penegasan Istilah 
    1. Tipologi
Tipologi dapat diartikan sebagai ilmu watak golongan-golongan menurut tipe, corak watak masing-masing. Jasa ilmu ini bisa dimanfaatkan untuk melacak potensi-potensi pondok pesantren yang tengah bergelut dengan perkembangan zaman. Terlebih jika pondok pesantren tersebut dihadapkan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sehingga memaksa dengan sadar pihak pesantren untuk merubah dirinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terlebih dari geliat pesantren ini juga merupakan fenomena tersendiri untuk dilakukan penelitian.
Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
    1. Pondok Pesantren Tradisional (PPT)
Pola I : Materi pelajaran yang dikembangkan adalah mata pelajaran agama yang bersumberdari kitab-kitab klasik, non-klasikal, pengajaran memakai sistem “halaqoh28, santri diukur tinggi rendah ilmunya berdasar dari kitab yang dipelajarinya. Tidak mengharapkan ijazah sebagai alat untuk mencari pekerjaan. Pondok Pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang ditulis oleh ‘ulama salaf dengan menggunakan bahasa Arab. Kurikulum tergantung sepenuhnya kepada kyai pengasuh pesantren. Santrinya ada yang menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang tidak menetap di dalam pondok.
Pola II : Pola yang kedua ini hamper sama dengan pola yang di atas, hanya saja pada pola ini sistem belajar mengajarnya diadakan secara klasikal, non-klasikal dan sedikit memberikan pengetahuan umum kepada para santri.
 2. Pondok Pesantren Modern (PPM)
Pola I : pada pola ini pesantren sudah menerapkan sistem Negara dengan dengan melengkapi pembelajarannya dengan mata pelajaran umum. Adanya keseimbangan ini karena sebagian besar pesantren-pesantren jenis ini sudah melaksanakan ujian Negara. Dan dalam mata pelajaran tertentu mengikuti kurikulum Kementrian Agama yang dimodifikasi oleh pesantren yang bersangkutan sebagai cirri kepesantrenan. Sistem belajar secara klasikal dan meninggalkan sistem tradisional. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kyai sebagai koordinator pelaksana proses belajar mengajar dan sebagai pengajar langsung di kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol sebagai kurikulum lokal
Pola II : Sementara pola ini menitik beratkan pada pelajaran ketrampilan, di samping pelajaran agama. Pelajaran ketrampilan ditujukan untuk menjadi bekal kehidupan bagi seorang santri setelah dia tamat dari pesantren tersebut.
  1. Pondok Pesantren Komprehensif (PPK)
Pondok Pesantren Ini disebut komprehensif atau pesantren serba guna karena merupakan sistem pendidikan dan pengajaran gabungan yang tradisional dan yang modern. Artinya di dalamnya diterapkan pendidikan dan pengajaran kitab salaf dengan metode sorogan, bandongan dan wetonan, namun secara reguler sistem persekolahan terus di kembangkan. Bahkan pendidikan ketrampilan pun diaplikasikan. Pada umumnya, pesantren pola ini mengasuh berbagai jenis jenjang pendidikan seperti pengajian kitab-kitab klasik, madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi.29
Berbeda halnya apa yang dikaji oleh Hasan Basri yang menganggap sistem pendidikan pesantren yang awalnya bercorak tradisional kemudian berkembang dinamis, adaptif, emansipatif, dan responsif. Melihat dinamika ini, agaknya pesantren mengalami transformasi sedemikian rupa sehingga corak pesantren-pesantren tersebut berbeda-beda. setidaknya dapat dibedakan menjadi tida corak, yaitu :
  1. Pesantren Tradisional
Pesantren jenis ini masih mempertahankan nilai-nilai tradisionalnya dalam arti tidak mengalami transformasi dalam system pendidikannya. Ia juga tidak banyak terpengaruh dengan perubahan dan perkembangan zaman. Pada umumnya pesantren semacam ini masih eksis di darah-daerah pedalaman (countryside). Materi pelajaran dan metodenya merujuk pada kitab-kitab kuning dan motivasi belajar santri murni tafaqquh fi ad-din tidak disisipi sedikitpun pendidikan umum.
  1. Pesantren Transisional
Pendidikan dalam corak yang transisional dapat ditandai pada porsi adaptasinya pada nilai-nilai baru. Corak pendidikan ini sudah mulai mengadopsi sistem pendidikan modern, tapi tidak sepenuhnya. Prinsip selektifitas untuk menjaga nilai tradisional, masih terpelihara. Pesantren dengan corak semacam ini dapat dikatakan telah mengalami perubahan dan pergeseran nilai, namun nilai-nilai lama tetap menjadi tolok ukur dalam mengambil setiap kebijakan.
  1. Pesantren Modern
Pesantren jenis ini agaknya tengah mengalami transformasi yang amat signifikan baik mengenai sistem pendidikannya maupun unsur-unsur dalam kelembagaannya. Sistem modern yang dimaksud mencakup materi pelajaran dan metodenya sepenuhnya menganut system modern. Bahan kajian kurikulumnya mencakup ketrampilan atau keahlian tertentu dan bakat minat dalam mengembangan potensi santrinya sudah diperhatikan. Terlebih jenis pesantren ini sudah mengajarkan bahasa asing (arab dan inggris), terutama percakapan yang sebagian pesantren sudah menerapkan dalam kehidupan sehari-hari santri.30
        1. Pondok Pesantren
Menurut Mastuhu, sebagaimana di kutip oleh Fatah Syukur, mengatakan secara definitif pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam (tafaqquh fi al-din) dengan mementingkan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.31 Pada dasarnya, pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional tempat para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah pengajaran kyai. Asrama bagi santri inilah yang disebut pondok. Sehingga Zamachsjari Dlofier mengatakan bisa dikatakan pesantren jika telah memenuhi elemen-elemen dasar, diantaranya pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai.32
        1. Konstelasi
Konstelasi dapat diartikan sebagai keadaan atau tatanan. Jika konstelasi diartikan demikian, maka akan berhubungan dengan persoalan politik pesantren (baca : NU). Di mana dalam politik pesantren ini, Abdul Mu’thi menilai pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan tetapi juga sebagai basis perlawanan terhadap kolonialisme Belanda yang dianggap kafir.33 Namun, penelitian ini bukan mengarah pada persoalan politik yang dimaksud, akan tetapi hanya mengenai kurikulum dan orientasi visioner pesantren.
Konstelasi dapat juga diartikan sebagai gambaran ; keadaan yang dibayangkan. Keadaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan pembaharuan dalam pendidikan Islam. Artinya, dalam menghadapi tantangan zaman, pesantren sedapat mungkin harus menerima secara inklusif berbagai perubahan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
        1. Pembaharuan
Menurut Harun Nasution (1975), pembaharuan identik dengan kata modernisasi yang lahir dari Dunia Barat. Di mana modern sendiri artinya terbaru, mutakhir, atau sikap dan cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman. Sehingga modernisasi merupakan sebuah proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan hidup masa kini. Harun menambahkan, modern bukan hanya membaharui paham-paham, sikap atau adat istiadat, melainkan lebih luas lagi mencakup pembaharuan institusi-institusi yang dipandang lama untuk disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan yang baru.34
Sedangkan menurut Dawam Raharjo (1985), pembaharuan lebih identik dengan kata reformation yang merupakan derivasi dari kata “reform” yang mempunyai arti (seseorang, lembaga, prosedur, sistem atau tradisi). Reformasi yang dikehendaki bisa terlaksana dengan adanya pembaharuan.35 Pengertian semacam ini senada dengan tawaran pembaharuan pesantren Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang menegaskan bahwa pesantren bersifat dinamis, terbuka dengan perubahan, dan mampu menjadi penggerak yang diinginkan. Tawaran pembaharuan gus dur tersebut meliputi penyusunan kurikulum, peningkatan sarana, pembenahan manajemen kepemimpinan, pengembangan watak mandiri, dan lain sebagainya.36
Sehingga tawaran pembaharuan Gus Dur tersebut di tanggapi Zamachsjari Dhofier dengan berusaha membuat klasifikasi pola pembaharuan pesantren menjadi lima macam, yaitu :
Pertama, pesantren yang terdiri hanya masjid dan rumah kyai. Pesantren ini masih sangat sederhana di mana kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk tempat mengajar. Santri berasal dari daerah sekitar pesantren tersebut.
Kedua, pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama. Pola ini telah dilengkapi dengan pondok yang disediakan bagi para santri yang datang dari daerah lain.
Ketiga, pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama, dan madrasah. Berbeda dengan yang pertama dan kedua, pola ini telah memakai sistem klasikal, santri mendapat pengajaran di madrasah. Di samping itu, belajar mengaji, mengikuti pengajaran yang diberikan oleh kyai pondok.
Keempat, pesantren yang telah berubah kelembagaannya yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama, madrasah, dan tempat ketrampilan. Pola ini dilengkapi dengan tempat-tempat ketrampilan agar santri trampil dengan pekerjaan yang sesuai dengan sosial kemasyarakatannya, seperti pertanian, peternakan, jahit menjahit, dan lain sebagainya.
Kelima, pesantren modern yang tidak hanya terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok atau asrama, madrasah, dan tempat keterampilan, melainkan ditambah adanya universitas, gedung pertemuan, tempat olahraga, dan sekolah umum. Pesantren semacam inilah yang dinamakan oleh Zamachsjari Dlofier sebagai pesantren khalafi yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum, atau membuka tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.37
        1. Pendidikan Islam
Menurut Ahmadi pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.38 Pendidikan dewasa ini terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas. Konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.
Perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. Apalagi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Hal ini sesuai dengan pengertian pendidikan Islam menurut hasil konferensi pertama tahun 1977 di Mekkah, yang menyatakan bahwa istilah pendidikan Islam tidak lagi hanya berarti pengajaran teologik atau pengajaran Al-Qur’an, hadits dan fiqih, tetapi memberi arti pendidikan di semua cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan dari sudut pandang Islam.39

  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, secara eksplisit penelitian ini bertujuan untuk menjawab,” bagaimanakah tipologi pondok pesantren di kota Kudus dalam konstelasi pembaharuan pendidikan Islam?” dan secara implisit rumusan tersebut mengandung pertanyaan-pertanyaan :
    1. Bagaimana kondisi objektif pesantren-pesantren di kota Kudus?
    2. Bagaimana eksistensi pembaharuan pendidikan Islam di kota Kudus?

  1. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:
  1. Mendiskripsikan tipologi dan karakter pondok pesantren di kota Kudus sebagai pemberdayaan potensi pesantren dengan menjadikannya sebagai model pendidikan Islam alternatif.
  2. Menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren di Kudus serta dinamikanya di tengah arus pembaharuan pendidikan Islam.
  3. Menggambarkan bahwa tidak semua lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren tertinggal, bahkan dianggap tidak responsip terhadap perkembangan zaman di tengah-tengah deru modernisasi. Tetapi justru menunjukkan eksisitensinya yang dinamis, baik kelembagaan maupun sistem pendidikannya.
  4. Melihat secara kritis kondisi objektif pondok pesantren di Kudus dalam menghadapi tantangan modernisasi sebagai kebutuhan dalam proses pencarian tipe pendidikan ideal yang mampu menciptakan generasi yang cerdas akal (otak), emosi, sosial dan spiritualnya sehingga menjadi generasi yang unggul, berintregitas tinggi dan penuh kemandirian.
  5. Mencari format tipologi pendidikan ideal di kalangan pesantren yang memang sistem pendidikan dan tradisi keilmuwannya benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sarana untuk membangun jiwa-jiwa kemandirian yang mempunyai mentalitas ikhlas limardlotillah.
  6. Mengkategorisasikan pesantren-pesantren di kota Kudus dengan berbagai variannya sesuai dengan karakteristik keilmuwan, maupun dengan visi yang dibawa dalam menegakkan tujuan pendidikan Islam sehingga dapat mempermudah masyarakat untuk menilai keunggulan dan kekurangannya.
Dengan memperhatikan hasil penelitian ini secara menyeluruh, maka diharapkan akan memperoleh manfaat sebagai berikut :
  1. Memberikan kontribusi pada khasanah keilmuan Islam dalam studi pendidikan Islam, khususnya tentang sejarah dan perkembangan lembaga pendidikan Islam tradisional, yaitu pesantren.
  2. Memberikan kontribusi pemikiran kepada praktisi dan atau institusi-institusi yang berkompeten terhadap dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
  3. Mempermudah masyarakat dalam usaha untuk memperoleh informasi tentang tipe-tipe pesantren yang ada di kota Kudus sehingga lahir amal kebaikan bagi peneliti sendiri terutama secara khusus, dan secara umumnya semua pihak yang telah membantu, baik dari kalangan pesantren sendiri maupun sumber-sumber dari luar pesantren.
  1. Kajian Pustaka
Penelitian yang dilakukan oleh Clifford Geertz (1960), Zamachsjari Dhofier (1982), Karel A.Steenbrink (1986), Azyumardi Azra (1991), Deliar Noer (1991), dan beberapa peneliti lainnya tentang dunia pesantren telah berhasil menarik perhatian para akademisi untuk dijadikan bahan studi ilmiah. Para peneliti tersebut mengkaji pesantren dari berbagai sudut pandangnya sehingga hasil karya-karya mereka memenuhi setiap ada penelitian tentang pesantren.
Hal di atas menunjukkan bahwa penelitian tentang pesantren merupakan tantangan tersendiri karena bahan kajiannya selalu berkembang dinamis mengikuti deras laju kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, studi yang penulis lakukan ini tak lepas dari jasa-jasa mereka yang telah memberikan berbagai informasi yang penulis butuhkan. Berkaitan dengan fokus kajian penelitian ini yakni tipologi pesantren dalam pembaharuan pendidikan Islam, berikut ini penulis paparkan hasil studinya dan studi lain sebagai acuan dalam penelitian ini, antara lain :
Clifford Geertz, dalam bukunya yang The Religion Of Java (1960) yang diterbitkan di London oleh The Press Of Blancoe setidaknya memberikan mindset bahwa pesantren dalam satu sisi bisa dikatakan sebagai Agent Of Change yang mampu mendorong berbagai perubahan di masyarakat. Geertz, lebih lanjut mengidentifikasi kekuatan pesantren mampu untuk memobilisasi sumber daya lokal dalamkapasitasnya sebagai benteng kemewahan akan budaya konsumtif sehingga dalam buku tersebut Geertz menyebutnya sebagai culture broker antara dunia luar dengan pesantren atau sebaliknya.
Zamachsjari Dhofier dalam disertasinya yang berjudul The Pesantren Tradition : A Study the Role of the Kyai in Maintenance of the Traditional Idiologi of Islam in Java (1980) yang telah di terbitkan oleh LP3ES pada tahun 1982 dengan judul Tradisi Pesantren : Sudi tentang Pandamgan Hidup Kyai. Dalam bukunya tersebut, Dhofier sengaja melakukan penelitian tentang dua pesantren, yakni pesantren Tegalsari di Kabupaten Semarang Jawa Tengah dan pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur. Di mana kedua pesantren tersebut memang berbeda siistem dan kelembagaannya. Sehingga dalam proses penelitiannya itu sedikit banyak ditemukan berbagai fenomena khususnya strategi kyai dalam memelihara tradisi keilmuwan pesantrennya. Indikasi adanya sebuah network, menurut Dhofier menyatakan penjagaan tradisi bisa melalui transmisi pengetahuan yang bisa membentuk genealogi intelektual maupun perkawinan yang endogamous.
Karel A.Steenbrink, dalam bukunya yang berjudul Pesantren Madrasah Sekolah, Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern (1986) yang telah diterbitkan oleh LP3ES memberikan petunjuk bahwa perkembangan pendidikan Islam di Indonesia bermula dari sistem pesantren di surau-suaru kecil yang awalnya mula ada di daerah Minangkabau, kemudian bergeser ke sistem madrasah dan akhirnya sekolah. Karel menilai perubahan tersebut tidak lepas dari dari tuntutan perkembangan zaman yang dihadapinya. Politik kolonial dalam hal ini sangat banyak memberikan pengaruh terhadap perkembangan pembaharuan pendidikan Islam sendiri. Bahkan politik tersebutlah yang melatar belakangi perubahan tersebut. Di dalam buku tersebut, karel membuktikan pemikirannya dengan melakukan penelitian di berbagai daerah Jawa dan Sumatra, khususnya di Minangkabau.
Azyumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Nusantara Abad XVII Dan XVIII (1991), diterbitkan di Bandung oleh penerbit Mizan yang secara eksplisit mengkaji tentang bahan bacaan di dunia pesantren. Di mana Azra menilai kitab yang dipelajari oleh dunia pesantren pada abad ke-16 terpengaruh oleh paham manunggaling kawula gusti yang dianut oleh Syekh Siti Jenar. Sedangkan pada abad ke-17 masih bercorak mistik (tasawuf), khususnya paham tasawuf falsafi wahdat al-wujud. Secara implisit, Azra mengkaji tentang dunia pesantren ditinjau dari sudut pandang transmisi ajarannya yang di bawa dari ulama Timur Tengah karena sebagian pembawa paham pembaharuan pendidikan Islam berasal dari kawasan tersebut.
Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900-1942 terbitan Oxford University yang diterjemahkan menjadi Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942 dan diterbitkan oleh LP3ES di Jakarta yang mengalami tujuh kali cetak ulang. Buku tersebut secara umum membahas tentang berbagai model gerakan pembaharuan dari awal munculnya paham tersebut sampai berbagai bentuk pertentangan yang dikecamkan oleh pihak Belanda. Secara luas, buku tersebut dapat memberikan penulis tentang informasi sejarah kapan dimulainya pembaharuan pendidikan Islam.
Mastuhu, dalam bukunya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (1994) yang diterbitkan oleh INIS di Jakarta. Dalam salah satu pemikirannya, Mastuhu berusaha ingin menjelaskan fenomena dari banyaknya pesantren yang ada di Indonesia di lihat dari tujuan pendidikannya. Antara satu pesantren dengan pesantren lainnya terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni untuk meraih kkebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Dengan perbedaan ini, ia menilai terdapat keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kemandirian dan independensinya. Dengan meneliti 6 pesantren, ia menggunakan pendekatan sosiologis-antropologis dan fenomenologis dengan harapan dapat menembus tabir rahasia nilai-nilai kehidupan pesantren sehingga dapat mengembangkannya dalam sistem pendidikan nasional.
Mursidi, dalam tesisnya yang berjudul, Sistem Pendidikan Pesantren Tradisional Sebagai Alternatif Pola Pendidikan Islam Di Indonesia (Studi Pada Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta) yang menyatakan bahwa terdapat nilai-nilai fundamental pendidikan pesantren yang kemudian membentuk pola pendidikan yang dapat dijadikan alternatif Pendidikan Islam di Indonesia. Nilai-nilai fundamental itu adalah : Komitmen untuk Tafaqquh Fiddin Pendidikan sepanjang waktu (fullday school), Pendidikan terpadu (Integratif}, Pendidikan seutuhnya (afektif, kognilif, psikomotorik), Keragaman yang bebas dan mandiri serta bertanggungjawab, Pesantren adalah bentuk masyarakat kecil
Tim peneliti CeRMIN (Central Riset dan Manajemen Informasi) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Profil Pesantren Kudus yang diterbitkan pada tahun 2005. Dalam hasil penelitiannya tersebut penulis mendapatkan banyak sekali informasi yang menyangkut tentang berbagai macam profil dari pesantren yang ada di kota Kudus, baik mengenai karakteristik dan tradisi keilmuwannya. Namun, dalam penjelasan buku tersebut penulis belum menemukan bagaimana geliat pesantren-pesantren tersebut dalam menghadapi modernisasi atau pembaharuan dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan diupayakan untuk menemukannya.
Dari hasil eksplorasi penulis terhadap berbagai sumber dan bahan pustaka tidak atau belum menjumpai pembahasan yang spesifik sama sekali dengan permasalahan yang akan di sajikan dalam penelitian ini, yaitu dengan pendekatan historis sosiologis-antropologis penulis akan berusaha mengkaji tipologi pondok pesantren yang tidak kecil peranannya dalam ikut serta mencerdaskan umat serta menjadikannya sebagai sebuah alternatif sistem pendidikan Islam yang dapat terwujudnya generasi unggul.

  1. Metode Penelitian
Dari banyaknya pondok pesantren yang ada di kota Kudus dengan sendirinya menuntut penelitian ini dilakukan secara intens. Pengumpulan datanya pun harus dilakukan secara cermat dan akurat. Oleh karena itu, untuk mendukung validitas data yang penulis kumpulkan, maka di bawah ini akan dijelaskan metode penelitiannya.
        1. Metode Pengumpulan Data
Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana tipologi pesantren-pesantren yang ada di kota Kudus, penulis dalam proses pengumpulan datanya merasa perlu merangkul semua pihak yang berkaitan dengan objek penelitian ini, pondok pesantren dengan berbagai variannya, kyai yang dalam hal ini sebagai pengasuh beserta perangkatnya, dan dokumen-dokumen penting yang berhubungan dengan pondok pesantren. Oleh karena itu, metode pengumpulan data yang penulis terapkan antara lain :
  1. Metode observasi
Maksud dari metode observasi ini adalah untuk mengetahui bentuk pembaharuan yang dilakukan pesantren melalui observasi secara langsung. Bentuk observasi yang dilakukan dengan cara partisipasi pasif karena penulis menyadari bukan termasuk komunitas dari masyarakat Kudus. Meskipun demikian, tidak mengurangi semangat penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai tujuan dari penelitian ini.
Secara umum, observasi yang dilakukan penulis adalah observasi deskripsi yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum tentang varian pondok pesantren di Kudus yang meliputi sejarah berdiri, visi dan misi pesantren, dan aspek pengembangan sistem pesantren. Bukan hanya itu, penulis juga akan melakukan observasi mengenai pelaksanaan kurikulum, metode pembelajaran, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik masing-masing pesantren.
  1. Metode interview
Dalam penelitian ini interview dilakukan agar mendapatkan data dari sumbernya secara langsung untuk kepentingan validiitas data. Interview penulis lakukan kepada para pengasuh pondok pesantren, terhadap para pengurus pondok pesantren yang penulis rasa kapabel dan kompeten, maupun terhadap masyarakat sekitar sebagai penunjang data yang penulis ketahui sebelumnya.
Interview yang dilakukan dengan menggunakan teknik secara terstruktur maupun tak terstruktur. Secara terstruktur dimaksudkan untuk mengetahui persamaan antar masing-masing pondok pesantren. Dengan begitu, penulis dapat menemukan keunggulan satu pesantren dibanding pesantren yang lain, dan kelemahan satu pesantren dibanding pesantren yang lain. Sehingga jika data sudah terkumpul semua, penulis dapat melakukan kategorisasi menurut tipologi masing-masing pesantren. Terstruktur artinya penulis menegaskan berbagai pertanyaan dan berusaha memunculkan masalah sendiri yang akan diajukan. Bukan hanya demikian, interview tak terstrukturpun juga penulis lakukan untuk mengetahui data-data tunggal yang sebelumnya penulis belum mendapatkannya.
  1. Metode dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dokumen-dokumen penting tentang pondok pesantren yang bersamhkutan,baik mengenai jumlah santri, profil pesantren, bentuk kegiatan, struktur kepengurusan pondok pesantren, staf pengajar, tradisi keilmuwan yang dipelajari, dan lain sebagainya. Pengumpulan dokumen penting ini tidak semata-mata mengumpulkan semua data yang penulis peroleh, namun dalam tahap ini dilakukan seleksi data agar akurasi data bisa dipertanggung jawabkan secara legal-formal.
        1. Teknik Analisis Data
Berbagai data yang dipeoleh dari lapangan, baik dari observasi, interview, dan dokumentasi selanjutnya pengolahannya dilakukan dengan menggunakan model analisis kualitatif yang berjenis analisis-deskriptif. Artinya dengan menggunakan jenis analisis ini penulis membuat beberapa uraian-uraian yang berusaha mendeskripsikan munculnya berbagai pembaharuan yang dilakukan oleh masing-masing pesantren berikut karakteristik pengembangannya. Dengan ini diharapkan penulis dapat menggambarkan konstelasi pembaharuan pendidikan Islam dengan melakukan kategorisasi yang pada akhirnya penulis dapat merumuskan tipologi pada pesantren-pesantren di Kudus.






  1. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini terbagi ke dalam lima bab yang saling berkesinambungan. Adapun bagian-bagiannya sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
        1. Latar Belakang Masalah
        2. Penegasan istilah
        3. Rumusan masalah
        4. Tujuan dan manfaat penelitian
        5. Metode penelitian
        6. Sistematikan penulisan skripsi
BAB II : GAMBARAN UMUM PESANTREN-PESANTREN DI KOTA KUDUS DALAM PEMABAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
  1. Gambaran Wilayah
  2. Sejarah Kudus
  3. Kependudukan dan Mata Pencaharian
  4. Sejarah Pesantren-pesantren di Kudus
BAB III : KONDISI OBJEKTIF PESANTREN-PESANTREN DI KUDUS
  1. Jumlah pesantren tiap-tiap kecamatan Kudus
  2. Profil Pesantren di Kudus
  3. Visi dan Orientasi Keilmuwan Pesantren
BAB IV : ANALISIS TERHADAP TIPOLOGI PONDOK PESANTREN DALAM KONSTELASI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM
  1. Dinamika Pesantren-pesantren di Kudus
  2. Kepemimpinan Pesantren di Kudus
  3. Konstelasi pembaharuan pendidikan Islam
  4. Tipologi pondok pesantren di Kudus
BAB V : PENUTUP
              1. Kesimpulan
              2. Saran-saran
              3. Penutup

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman Mas’ud, “Pesantren Dan Walisongo : Sebuah Interaksi Dalam Dunia Pendidikan,” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogjakarta : Penerbit Gama Media, 2000)
Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interrelasi Islam-Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media dan Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2004)
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
________Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), cet.I
Brunessen, Martin Van, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1992)
________ Kitab Kuning, Pesantren, Dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994)
Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta : Penerbit Bina Usaha, 1984)
Ismawati, “Melacak Cikal Bakal Pesantren Jawa”, dalam Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interrelasi Islam-Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media dan Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2004)
IP Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta : Depdikbud, 1973)
Jainuri, Achmad, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Konservatisme, Fundamentalisme, Sekulerisme, Dan Modernisme, (Surabaya : Institute for the Study of Religion and Society, 2004), Cet.I
Jabah, Fuad & Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Ciputat : PT Logos Wacana Ilmu, 2002), Cet.I
Kuntowijoyo, Dr., Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Penerbit Mizan, 1998), Cet.VIII
Mas’ud, Abdurrohman, Dr. H. M.A. Ph. D. et.al, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 2002), Cet.I
____________ Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik-Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogjakarta : Gama Media, 2002)
Mahfudz, MA Sahal, K.H, et.al, Pendidikan Islam, Demokratisasi & Masyarakat Madani, (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar, 2000), Cet.I.
Musahadi, et al, IAIN Walisongo: Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan, (Semarang : Puslit IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan CV Pustakindo Pratama, 2003), Cet.I
Moeloeng. Lexy J, Prof. Dr. M.A., Metodologi Penelitian Kualitatif (edisi revisi), (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2007) Cet. XXIV
Madjid, Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina, 1997)
Majalah LPM EDUKASI, Pergeseran Paradigmatik Pesantren Modern, XXIX/th XI/V/2004
Nasution, Harun, Dr., Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1975)
Nata, Abuddin, Prof. Dr. (ed), Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit PT Grasindo dan IAIN Syatif Hidayatullah Jakarta, 2001)
Noer, Deliar, “The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900-1942” yang diterjemahkan menjadi ,Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : PT Pustaka LP3ES, 1994), cet.VII
Raharjo, M. Dawam, Prof. Dr. (ed), dalam Pesantren dan Pembaruan, (Jakarta : Penerbit LP3ES, 1985)
Rachman, Budhy Munawar, Reorientasi Pembaruan Islam Sekulerisme, Liberalisme, Dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia, (Jakarta : Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) bekerjasama dengan Paramadina, 2010), Cet.I
Syukur NC, Fatah, Drs. M.Ag, Dinamika Madrasah dalam Masyarakat Industri, (Semarang : Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu KeIslaman dan Pesantren And Madrasah Development Centre, 2004 ), cet. I
Supiana, Dr., Sistem Pendidikan Madrasah Unggulan di Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia Tangerang, Madrasah Aliyah Negeri 1 Bandung, dan Madrasah Aliyah Negeri Darussalam Ciamis, (Jakarta : badan litbang dan diklat departemen agama RI, 2008), Cet.I
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi (Esai-esai Pesantren), (Yogjakarta : PT LkiS, 2010), Cet III.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : Penerbit LP3ES, 1982)








Nadwa, Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah, Volume 3, Nomor 2, Oktober 2009 (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang) Perpus fak
Nadwa, Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah, Volume 2, Nomor 2, Oktober 2008 (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang)
Nadwa, Jurnal Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah, Volume 2, Nomor 1, Mei 2008 (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang)
Harmoni, Jurnal Multikultural & Multireligius, Pergumulan Pemaknaan Jihad, Volume VIII, Nomor 32, Oktober-Desember 2009, (Jakarta : Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI)
Ary, Donald, et.al, “Introduction to Research In Education”, yang diterjemahkan menjadi, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, (Surabaya : Penerbit Usaha Nasional, 1982)
Nakosteen, Mehdi, “History of Islamice Origins of Western Education A.D. 800-1350 ; With an Introduction to Medieval Muslim Education”, yang diterjemahkan menjadi, Kontribusi Islam Atas Dunia Intelektual Barat ; Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, (Surabaya : Penerbit Risalah Gusti, 2003), Cet.II.






1 Selain istilah “pesantren” ditemukan juga istilah lain dengan makna yang sama : “pesantren”, “pondok” atau “pondok pesantren” (Jawa, Sunda, dan Madura), “dayah” atau “rangkang” (Aceh), dan “surau” (Minangkabau). Lihat Dawam Raharjo (ed), dalam Pesantren dan Pembaruan, (Jakarta : Penerbit LP3ES, 1985), hlm.2.
2 Abdul Djamil, “Pesantren : Jati Diri dan Perannya Dalam Kebudayaan”, Dalam Prolog Profil Pesantren Kudus, (Kudus : Central Riset dan Manajemen Informasi, 2005), hlm. v
3 Majalah LPM EDUKASI, Pergeseran Paradigmatik Pesantren Modern, XXIX/th XI/V/2004.,hlm.11
4 Para ahli sejarah mengatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan lanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan pra-Islam, yang disebut dengan mandala. Konon mandala ini telah ada sejak zaman sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan (semacam sekolah) dan keagamaan. Mandala dianggap oleh orang Hindu-Budha sebagai tempat suci karena disitu tinggal para pendeta atau pertapa yang memberikan kehidupan yang patut dicontoh masyarakat sekitar karena kesalehannya. Mandala juga disebut sebagai wanasrama yang dipimpin oleh siddapandita yang bergelar muniwara, munindra, muniswara, maharsi, mahaguru atau dewaguru. Lihat Ismawati, “Melacak Cikal Bakal Pesantren Jawa”, dalam Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interrelasi Islam-Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media dan Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm.95-96.
5 Pendapat lain yang mengatakan pesantren adalah kelanjutan dari mandala adalah IP Simanjuntak (1973) yang mengatakan pesantren telah mengambil model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan mandala masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa sebagai sarana pembelajaran, dan latar belakang santri. Namun, Abdurrohman Mas’ud (2000) lebih condong mengatakan pesantren memiliki kesinambungan dengan lembaga pendidikan Gurucula yang telah ada di masa pra-Islam di Jawa. Lihat IP Simanjuntak, Perkembangan Pendidikan Di Indonesia, (Jakarta : Depdikbud, 1973), hlm.24. Lihat juga Abdurrohman Mas’ud, “Pesantren dan Walisongo : Sebuah Interaksi dalam Dunia Pendidikan,” dalam Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogjakarta : Penerbit Gama Media, 2000), hlm. 223.
6 Fatah Syukur NC, Dinamika Madrasah Dalam Masyarakat Industri, (Semarang : Pusat Kajian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu KeIslaman dan Pesantren and Madrasah Development Centre, 2004 ), Cet. I. hlm. 26.
7 Abdul Djamil.,Ibid.,hlm.vi
8 Tanah perdikan atau tanah sima adalah tanah yang diberikan oleh raja karena dengan dasar ingin membalas jasa kepada seseorang yang berbuat jasa, atau karena desa ataupun daerah tersebut dikhawatirkan melakukan pemberontakan atau melepaskan diri dari kekuasaan raja. Tanah ini juga dianugerahkan oleh raja kepada bangsawan atau kaum kerabat raja sebagai tanah lungguh (kedudukan) yang bisa dimanfaatkan hasilnya sebagai biaya penyelenggaraa pendidikan keagamaan asrama atau mandala. Lebih lanjut lihat Ismawati, “Melacak Cikal Bakal Pesantren Di Jawa”, dalam Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interrelasi Islam-Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media dan Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm. 105-106.
9 Hanun Asrohah, “Pelembagaan Pesantren, Asal-Usul dan Perkembangan di Jawa”, dalam Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interrelasi Islam-Jawa, (Yogjakarta : Penerbit Gama Media dan Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa IAIN Walisongo Semarang, 2004), hlm.112-113.
10 Madrasah yang dimaksud adalah madrasah Klasik Timur Tengah yang memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, lembaga administratif bidang pendidikan yang dibangun dengan tanah wakaf. Kedua, adanya pemondokan tempat bagi santri. Ketiga, terdapat makam disekitar pemondokan. Keempat, terdapat perpustakaan.
11 Lihat Martin Van Brunessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1992), hlm. 35
12 Menurut MA. Sahal Mahfudz, “Pesantren Mencari Makna : Setetes Pemikiran Pesantren Masa Depan”, dalam Profil Pesantren Kudus menyatakan yang dimaksud eksistensi adalah meliputi kelembagaan, kurikulum, dan tradisi-tradisi khas keilmuwannya. Oleh karena itu, meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam, pesantren terdeteksi selalu memiliki pemikiran future Oriented.
13 Azyumardi Azra, “Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta : Paramadina, 1997), hlm. 3.
14 Dalam catatan sejarah, di Minangkabau teruangkap 2 (dua) fase bentuk gerakan pembaharuan. Pertama, gerakan padri (1803) yang dimobilisasi oleh Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang setelah kepulangan mereka dari tanah suci Mekkah. Di mana menurut Armai Arief (2001) di sebut sebagai gerakan fundamentalis Islam yang coraknya tidak jauh beda dengan Wahabiyah yang ada di Mekkah. Armai sendiri beranggapan apa yang mereka lihat tentang Wahabi nampak begitu berkesan dan terpengaruh dengan ideologinya hingga mereka ingin pula melaksanakan pemurnian yang sama di kampung halamannya. Kedua, gerakan pemikiran Syeikh Ahmad Khatib yang sudah menyebarkan pemikiran-pemikirannya dari tahun 1880-1915 M, baik melalui tulisan-tulisannya sendiri yang dipublikasikan oleh murid-muridnya di indonesai maupun secara kontak langsung ketika naik haji ke mekkah. Lihat, Deliar Noer, “The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900-1942” yang diterjemahkan menjadi, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : PT Pustaka LP3ES, 1994), cet.VII, hlm. 38
15 Deliar Noer, “The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900-1942” yang diterjemahkan menjadi ,Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : PT Pustaka LP3ES, 1994), cet.VII. hlm. 39.
16 Abdul Djamil, Op.Cit., hlm. vii
17Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 36-37.
18Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1993), hlm. 57-58.
19Zamachsjari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : Penerbit LP3ES, 1982), hlm. 38.
20 Ahmad Qodri Abdillah Azizy, “Memberdayakan Pesantren Dan Madrasah” dalam Abdurrohman Mas’ud, et.al, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 2002), Cet.I
21 Kekhasan karakter pesantren bisa ditandai dengan pesantren sebagai transmisi ilmu-ilmu tradisional yang termuat dalam kitab kuning, sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisonal yang mengikuti paham ahlussunnah wal jama’ah, dan karakter sebagai sumber reproduksi ‘ulama. Lihat Zubaedi, Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pesantren, ( Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2007), Cet.I. hlm. 227.
22 Surau merupakan lembaga pendidikan keagamaan di Minang Kabau dimana oleh generasi kaum muda padri dilanjutkan untuk mencorong transformasi peran suarau menjadi madrasah kemudian berkembang menjadi dan pelopor lahirnya pendidikan Islam modern yang sistemnya dipadukan antara tradisi surau dengan sitim moderrn ala barat.
23Hanun Asrohah., Op. Cit., hlm. 153.
24Ainurrofiq, “Pesantren dan Pembaruan : Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit PT Grasindo dan IAIN Syatif Hidayatullah Jakarta, 2001), 150-151.
25 Kitab yang dipelajari di pondok pesantren telah berlangsungdari abad ke-16 sampai sekarang. Terdiri dari kitab-kitab klasik maupun populer. Ini menunjukkan tranformasi keilmuwan pesantren cukup dikatakan fleksibel dalam mempetahankan nilai-nilai ortodoks jika dibenturkan dengan tantangan zaman yang menuntut perubahan. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam Di Indonesia, (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), hlm.78.
26 Faisal Ismail, Percikan Pemikiran Islam, (Yogyakarta : Penerbit Bina Usaha, 1984), hlm. 69
27 Azyurmardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998), cet.I.hlm. 87.
28 Metode halaqoh yaitu seorang guru atau kyai dalam memberikan pelajarannya dikelilingi murid-muridnya atau yang dikenal juga dengan metode kolektif. Hakikat sistem halaqoh (lingkaran) mengorientasikan pada penghafalan yang titik akhirnya. Metode ini jika dipandang dari metodologi cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan memiliki ilmu. Artinya itu tidak berkembang ke arah paripurnanya ilmu itu, melainkan hanya terbatas pada yang di berikan oleh kyainya
29 Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009), Cet. I. hlm. 20.
30 Hasan Basri, “Pesantren : Karakteristik Dan Unsur-Unsur Kelembagaan”, dalam Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta : Penerbit PT Grasindo dan IAIN Syatif Hidayatullah Jakarta, 2001), 124-126.
31 Fatah Syukur NC, Op. Cit., hlm. 26.
32 Zamachsjari Dhofier., Op.Cit.,hlm. 44.
33 Abdul Mu’thi, “Paradigma Pendidikan Pesantren : Ikhtiar Metodologis Menuju Minimalisasi Kekerasan Politik”, dalam Abdurrohman Mas’ud, et.al, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Semarang : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 2002), Cet.I. hlm. 125.
34 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1975), hlm. 9.
35 Ainurrofiq, Op.Cit.,hlm. 152.
36 Abdurrohman Wahid, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, (Yogjakarta : LKiS, 2010), Cet.III. hlm.vi.
37 Zamachsjari Dhofier, Op.Cit., hlm. 41.
38 Ahmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Yogjakarta : Pustaka Pelajar, 2005), Cet.I. hlm. 28-29
39 Ibid., hlm. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar