A. Pengantar
Dunia pendidikan Islam secara historis pada 8-12 M merupakan puncak keemasan pendidikan Islam yang banyak melahirkan pemikir-pemikir pendidikan. Salah satu rahasia kesuksesan puncak keemasan pendidikan Islam pada saat itu terletak kepada kebebasan mimbar akademik, demokratisasi serta berpengang teguh pada etika akademik atau akhlak sangat dijujung tinggi, dengan menjadikan Al-qur’an dan hadis sebagai motivator pengembangan ilmu, akan tetapi pasca abad ke-12 dunia pendidikan Islam mengalami kemunduran yang nyaris memasuki periode kejumudan dimana ijtihad telah tertutup, atau menurut istilah Harun Nasution, bukan ijithad telah tertutup, tetapi karena tidak ada yang berani berijtihad. Sehingga kemuduran terjadi dalam berbagai bidang termasuk bidang pendidikan.
Usaha-usaha para pemikir untuk membenahi atau mengadakan pembaharuan system pendidikan Islam terus dilakukan, karena salah satu esensi dari pembaharuan adalah upaya terus menerus menganalisis keadaan dan mencermati peluang-peluang perbaikan yang mesti dilakukan. Hal ini diakui Fazlur Rahman bahwa usaha pembaharuan pendidikan adalah mesin rekayasa peradaban dan budaya yang akan menjamin kesiapan masyarakat tertentu menghadapi masa depannya. Oleh karena itu, kehadiran mata kuliah pemikiran pendidikan dalam Islam harus dilihat sebagai upaya pembaharuan pendidikan.
B. Defenisi Pemikiran Pendidikan Islam
Pembahasan konsep apa pun selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (defenisi) secara teknis, guna menangkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal ini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan selanjutnya. Misalnya, seorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara detail, jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Demikian pula, defenisi pemikiran pendidikan Islam diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk beluk yang terkait dengan pemikiran pendidikan. dan sebagai upaya untuk memotret dinamika dunia pendidikan Islam.
secara etimologi pemikiran adalah berarti proses , cara, atau perbuatan memikir; yaitu menggunakan budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan mempertimbangkan segala sesuatu dengan bijaksana.[1] Secara terminologis bahwa pemikiran pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumber atau belandaskan pada ajaran Islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam.[2]
Berpijak dari definisi di atas maka yang dimaksud dengan pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam dan berupaya untuk membangun sebuah paradigma pendidikan yang mampu menjadi wahana bagi pembinaan dan pengembangan peserta didik secara paripurna.[3]Melalui upaya ini diharapkan agar pendidikan yang ditawarkan mampu berapresiasi terhadap dinamika peradaban modern secara adaptik dan proporsional, tanpa harus melepaskan nilai-nilai Ilahiyah sebagai nilai warna dan nilai control.
C. Tujuan dan Fungsi Mempelajarinya
Dalam mempelajari pemikiran pendidikan Islam diharapkan mempunyai tujuan yang akan dicapai setelah mempelajarinya. Tujuan pemikiran pendidikan Islam antara lain:[4]
* Untuk membangun kebiasaan berfikir ilmiah, dinamis, dan kreatif serta kritis terhadap persoalan-persoalan seputar pendidikan Islam.
* Untuk Memberikan dasar berfikir inklusif terhadap ajaran Islam dan akomodatif terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh intelektual di luar Islam.
* Untuk menumbuhkan semangat berijtihad, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para kaum intelektual muslim abad pertama sampai abad pertengahan, terutama dalam merekontruksi system pendidikan Islam yang lebih baik.
* Untuk memberikan konstibusi pemikiran bagi pengembangan system pendidikan di Indonesia.
* Dengan mempelajarinya Pemikiran pendidikan Islam diharapkan berguna sebagai bahan masukan bagi merekonstruksi pola atau model pendidikan yang lebih adaptik dan integral dengan nuansa Islam terutama bagi pengembangan system pendidikan nasional, serta ikut memperkaya khazanah perkembangan ilmu pengetahuan.
Al-Syaibany menjelaskan bahwa tujuan mempelajari pemikiran pendidikan Islam adalah:[5]
* Dapat membantu para perencana dan pelaksana pendidikan untuk membetuk suatu pemikiran yang sehat tentang pendidikan.
* Pemikiran pendidikan Islam merupakan asas bagi upaya menentukan berbagai kebijakan pendidikan.
* Dapat dijadikan asas bagi upaya menilai keberhasilan pendidikan.
* Dapat dijadikan sandaran intelektual bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia praksis pendidikan.
* Dapat dijadikan dasar bagi upaya pemberian pemikiran pendidikan dalam hubungannya dengan masalah spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa inti dari pemikiran pendidikan Islam merupakan pedoman dan pegangan yang dapat dijadikan landasan filosofis bagi pelaksanaan pendidikan Islam dalam rangka menghasilkan generasi baru yang berkpribadian muslim.[6]Yang mampu mereformulasikan system pendidikan Islam, sehingga membawa hasil yang lebih baik,dan merumuskan paradigma baru, pendidikan yang sesuai dengan arus globalisasi dan tuntutan zaman.
Adapun fungsi mempelajari pemikiran pendidikan Islam adalah mengarahkan dan memberikan landasan pemikiran yang sistematik, mendalam, logis, universal, dan redikal terhadap berbagai persoalan yang dialami pendidikan Islam. Karena itu, persoalan-persoalan itu diselesaikan secara filosofis, maka solusi itu bersifat komprehensif, tidak parsial.[7] Untuk melakukan fungsi tersebut, maka harus menentukan sebuah tujuan pendidika, melakukan studi kritis terhadap teori-teori pendidikan dan teori-teori lainnya yang memiliki signifikansi pengaruh terhadap pemikiran pendidikan, melakukan studi kritis terhadap berbagai persoalan pendidikan khususnya pendidikan Islam.
D. Metode Pemikiran Pendidikan Islam
Metode pemikiran pendidikan Islam merupakan bagian dari epistimologi pendidikan Islam yang menurut Mujamil Qomar ada empat metode epistimologi pendidikan Islam yang diterapkan yaitu:[8]
1. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu yang dianggap benar apabila diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini secara empiris dalam melihat pendidikan Islam di klaim adalah mengadopsi system pendidikan Barat yang diperkuat dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi. bahkan seluruh komponen pendidikannya memakai acuan ilmuwan Barat yang tidak berangkat dari wahyu. Sedangkan teori-teori yang diformulasikan oleh ilmuwan-ilmuwan Islam justru tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas masing-masing disiplin ilmu. Bahkan yang paling berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori dari Barat telah dianggap baku dan sakral karena tidak pernah digugat.
Melalui metode rasional teori-teori pendidikan yang dianggap telah baku pun harus dicermati kembali, apakah masih layak dipertahankan atau ditentang dengan argumentasi yang lebih mapan, logis, dan lebih diterima akal sehat. Teori-teori pendidikan Islam yang dirumuskan para intelektual muslim zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan kembali dengan menggunakan metode rasional. Oleh karena itu mestinya metode rasional ini telah lama menjadi pengangan filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori-teori tentang pendidikan Islam. Namun, dalam kenyataannya belum banyak ahli pendidikan Islam yang memanfaatkan metode rasional tersebut secara optimal dalam mambangun ilmu pendidikan Islam.
2. Metode Komparatif (manhaj muqaran)
Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan pendidikan Islam) dengan cara membandingkan teori maupun praktek pendidikan, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan lainnya. Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan.
3. Metode dilogis (manhaj jadali)
Metode dialogis adalah metode yang disajikan dalam bentuk dialog atau percakapan antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
4. Metode kritis (manhaj naqli)
Metode kritik di sini yang dimaksudkan sebagai usaha menggali pengetahuan tentang pendidikan Islam dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrenatif pemecahannya. Dengan demikian dasar atau motif timbulmnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan kelemahan yang harus diluruskan.
E. Tipologi Pemikiran Pendidikan Islam
Dalam dunia pemikiran pendidikan Islam ada lima tipologi pemikiran pendidikan Islam, yaitu[9] :
1. Perenial-esensialis salafi versi yang berupaya menonjolkan wawasan kependidikan Islam era salaf, sehingga pendidikan Islam berfungsi sabagai upaya melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah), kebiasaan dan tradisi masyarakat salaf (era kenabian dan sahabat), karena mereka dipandang sebagai masyarakat yang ideal. Model ini menyajikan secara manqul, yakni memahami atau menafsirkan nash-nash tentang pendidikan dengan nash yang lain atau dengan pendapat sahabat, serta dengan tekstual yang berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Arab. Untuk selanjutnya berusaha mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai dan praktik pendidikan tersebut hingga sekarang. Parameternya ingin kembali ke masyarakat salaf yang dianggap ideal, yang dipahami secara tekstual.
2. Perenialis-esensialis mazhabi lebih menonjolkan wawasan kependidikan Islam yang tradisional dan berkecenderungan untuk mengikuti aliran, pemahaman, atau doktrin, serta pola-pola pemikiran sebelumnya yang dianggap sudah relatif mapan. Pendidikan Islam berfungsi untuk melestarikan dan mempertahankan serta mengembangkan melalui upaya-upaya pemberian syarh dan hasyiyah, serta kurang keberanian untuk mengubah substansi materi pemikiran pendahulunya. Dengan kata lain, pendidikan Islam lebih berfungsi sebagai upaya mempertahankan dan mewariskan nilai, tradisi dan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks sekarang.
3. Modernis versi yang menonjolkan wawasan pendidikan Islam yang bebas modifikasi, progresif dan dinamis dalam menghadapi dan merespon tuntutan dan kebutuhan dari lingkungannya, sehingga pendidikan Islam berfungsi sebagai upaya melakukan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, agar dapat berbuat sesuai dengan tuntutan zaman.
4. Perenialis-esensialis kontekstual-falsifikatif mengambil jalan tengah antara kembali ke masa lalu dengan jalan melakukan kontekstualisasi serta uji falsifikatif dan mengembangkan wawasan kependidikan Islam masa sekarang selaras dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada. Fungsi pendidikan Islam adalah sebagai upaya mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai (Ilahiyah dan insaniyah), dan sekaligus menumbuhkembangkan dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan sosial yang ada.
5. Rekonstruksional Sosial lebih menonjolkan sikap pro aktif dan antisipatinya, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar peserta didik menjadi cakap dan kreatif serta bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya. Maka fungsi pendidikan dalam tipologi ini adalah sebagai upaya menumbuhkan kreativitas peserta didik, memperkaya khazanah budaya manusia, dan isi nilai-nilai insani dan Ilahi, serta menyiapkan tenaga kerja produktif.
Dari kelima tipologi tersebut di atas, dapat ditegaskan bahwa pada masing-masing tipologi terdapat titik temu dalam aspek rujukan utama mereka kepada fakta-fakta informasi, pengetahuan, serta ide-ide dan nilai-nilai esensial yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Perbedaan dari masing-masing tipologi tersebut terletak pada tekanan dalam pengembangan wawasan kependidikan Islam dari rujukan utama tersebut.
Kelima tipologi di atas, dapat dipakai sebagai alat untuk memahami model-model pengembangan pemikiran mereka melalui telaah terhadap karya-karya ilmiah atau buku-buku mereka tersebut, sehingga dapat dijelaskan tipologi manakah yang lebih menonjol dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam, untuk selanjutnya dicarikan solusi alternatif mengenai tipologi yang ideal untuk dikembangkan di Indonesia.
Keterangan: Tipologi tersebut dikonseptualisasikan oleh Muhaimin dari hasil kajian terhadap aliran-aliran filsafat pendidikan pada umumnya, serta mencermati pola-pola pemikiran Islam yang berkembang dalam menjawab tantangan dan perubahan zaman serta era modernis, dan kajian kritis terhadap corak pemikiran pendidikan Islam yang berkembang pada umumnya sebagaimana terkandung dalam karya para ulama dan cendikiawan muslim dalam bidang pendidikan Islam.[10]
Footnote...
[1] Anton M. Moeliono, et, al., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1988, h. 682-683.
[2] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bina Aksara, Cet. I, 1987, h. ix
[3] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2001, h 7.
[4] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, h. 7
[5] Omar Mohammad Al-Toumy al-Syabany, Falsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan Bintang , 1979,h. 33-36.
[6] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,Bandung, al-Ma-arif, 1989, h. 30
[7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta, Ar-Ruzz, 2006, h. 53.
[8] Mujami Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam; dari Metode Rasional hingga Metode Kritis, Jakarta, Erlangga, 2005, h. 271-350.
[9] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, h. 61-62.
[10] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, h. 65-67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar